A. Pengertian.
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah penyakit yang disebabkan oleh trauma atau perubahan degeneratif yang menyerang massa nukleus pada daerah vertebra L4-L5, L5-S1, atau C5-C6 yang menimbulkan nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh). ( Doenges, 1999).
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah menonjolnya nukleus dari diskus ke dalam anulus (cincin fibrosa sekitar diskus) dengan akibat kompresi saraf. ( Smeltzer, 2001).
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah herniasi atau penonjolan keluar dari nukleus pulposus yang terjadi karena adanya degenerasi atau trauma pada anulus fibrosus.
( Rasjad, 2003).
Herniasi adalah suatu proses bertahap yang ditandai dengan serangan-serangan penekanan akar syaraf (yang menimbulkan berbagai gejala dan periode penyesuaian anatomik). ( Price, 2005).
Nukleus Pulposus adalah bantalan seperti bola dibagian tengah diskus (lempengan kartilago yang membentuk sebuah bantalan diantara tubuh vertebra). (Smeltzer, 2001).
Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah penyakit yang disebabkan oleh proses degeneratif atau trauma yang ditandai dengan menonjolnya nukleus pulposus dari diskus ke dalam anulus yang menimbulkan kompresi saraf sehingga terjadi nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh).
B. Patofisiologi
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) dapat disebabkan oleh proses degeneratif dan trauma yang diakibatkan oleh ( jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti mengangkat benda berat) yang berlangsung dalam waktu yang lama. Diskus intervertebralis merupakan jaringan yang terletak antara kedua tulang vertebra, yang dilingkari oleh anulus fibrosus yang terdiri atas jaringan konsentrik dan fibrikartilago dimana didalamnya terdapat substansi setengah cair. Substansi inilah yang dinamakan dengan Nukleus Pulposus yang mengandung berkas-berkas serat kolagenosa, sel jaringan ikat, dan sel tulang rawan. Bahan ini berfungsi sebagai peredam-kejut (shock absorver) antara korpus vertebra yang berdekatan, dan juga berperan penting dalam pertukaran cairan antara diskus dan kapiler. Diskus intervertebra ini membentuk sekitar seperempat dari panjang keseluruhan kolumna vertebralis. Diskus paling tipis terletak di regio lumbalis. Seiring dengan bertambahnya usia, kandungan air diskus berkurang (dari 90% pada masa bayi menjadi 70% pada lanjut usia) dan diskus menjadi lebih tipis sehingga resiko terjadinya HNP menjadi lebih besar. Selain itu serat-serat menjadi lebih kasar dan mengalami hialinisasi,yang ikut berperan menimbulkan perubahan yang menyebabkan HNP melalui anulus disertai penekanan saraf spinalis. Dalam herniasi diskus intervertebralis, nukleus dari diskus menonjol kedalam anulus (cincin fibrosa sekitar diskus) dengan akibat kompresi saraf. Kehilangan protein polisakarida dalam diskus menurunkan kandungan air nukleus pulposus. Perkembangan pecahan yang menyebar di anulus melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus. Setelah trauma (jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti mengangkat beban berat dalam waktu yang lama) kartilago dapat cedera, kapsulnya mendorong kearah medulla spinalis atau mungkin ruptur dan memungkinkan nukleus pulposus terdorong terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal. Sebagian besar herniasi diskus (proses bertahap yang ditandai serangan-serangan penekanan akar saraf) terjadi di daerah lumbal di antara ruang lumbal IV ke V (L4 ke L5), atau lumbal kelima (L5 ke S1), hal ini terjadi karena daerah inilah yang paling berat menerima tumpuan berat badan kita pada saat beraktivitas. Arah tersering herniasi bahan Nukleus pulposus adalah posterolateral. Karena akar saraf daerah lumbal miring kebawah sewaktu keluar melalui foramen saraf, herniasi diskus antara L5 dan S1 lebih mempengaruhi saraf S1 daripada L5. (Price, 2005) , ( Brunner& Suddarth , 2001) serta Rasjad, 2003).
Hernia Nukleus Pulposus yang menyerang vertebra lumbalis biasanya menyebabkan nyeri punggung bawah yang hebat, mendesak, menetap beberapa jam sampai beberapa minggu, rasa nyeri tersebut dapat bertambah hebat bila batuk, bersin atau membungkuk, dan biasanya menjalar mulai dari punggung bawah ke bokong sampai tungkai bawah. Parastesia yang hebat mugkin terjadi sesudah gejala nyeri menurun, deformitas berupa hilangnya lordosis lumbal atau skoliosis, mobilitas gerakan tulang belakang berkurang (pada stadium akut gerakan pada bagian lumbal sangat terbatas, kemudian muncul nyeri pada saat ekstensi tulang belakang), nyeri tekan pada daerah herniasi dan bokong (paravertebral), klien juga biasanya berdiri dengan sedikit condong ke satu sisi.
Apabila kondisi ini berlangsung terus menerus dapat meninbulkan komplikasi antara lain berupa radiklitis (iritasi akar saraf), cedera medulla spinalis, parestese, kelumpuhan pada tungkai bawah.
C. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada klien dengan Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah :
1. Penatalaksanaan medis.
a. Pemberian obat-obatan seperti analgetik, sedatif (untuk mengontrol kecemasan yang sering ditimbulkan oleh penyakit diskus vertebra servikal), relaksan otot, anti inlamasi atau kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi yang biasanya terjadi pada jaringan penyokong dan radiks saraf yang terkena, antibiotik diberikan pasca operasi untuk mengurangi resiko infeksi pada insisi pembedahan (Smeltzer, 2001).
b. Prosedur pembedahan.
1) Laminektomi, adalah eksisi pembedahan untuk mengangkat lamina dan memungkinkan ahli bedah spinalis, mengidentifikasi dan mengangkat patologi dan menghilangkan kompresi medulla dan radiks, laminektomi juga berarti eksisi vertebra posterior dan umumnya dilakukan untuk menghilangkan tekanan atau nyeri akibat HNP.
2) Disektomi, adalah mengangkat fragmen herniasi atau keluar dari diskus intervertebral.
3) Laminotomi, adalah pembagian lamina vertebra.
4) Disektomi dengan peleburan- graft tulang (dari krista iliaka atau bank tulang) yang digunakan untuk menyatukan dengan prosesus spinosus vertebra ; tujuan peleburan spinal adalah untuk menjembatani diskus defektif untuk menstabilkan tulang belakang dan mengurangi angka kekambuhan.
5) Traksi lumbal yang bersifat intermitten. (Smeltzer, 2001).
6) Interbody Fusion (IF) merupakan penanaman rangka Titanium yang berguna untuk mempertahankan dan mengembalikan tulang ke posisi semula.
c. Fisioterapi
2. Penatalaksanaan keperawatan.
a. Tirah baring (biasanya 2 minggu) pada alas yang keras atau datar.
b. Imobilisasi dengan menggunakan kolar servikal, traksi servikal, brace atau korset.
c. Kompres lembab panas (untuk 10 sampai 20 menit diberikan pada daerah belakang leher beberapa kali sehari untuk meningkatkan aliran darah ke otak dan menolong relaksasi otot bagi klien yang mengalami spasme otot).
d. Anjurkan mempergunakan posisi yang benar dan disiplin terhadap gerakan punggung yaitu membungkuk dan mengangkat barang. Teknik yang benar adalah menjaga agar tulang belakang tetap tegak, menekuk lutut dan menjaga berat badan tetap dekat dengan tubuh untuk menggunakan otot-otot tungkai yang kuat dan menghindari pemakaian otot-otot punggung.
e. Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam untuk mengurangi nyeri
f. Perawatan luka pada klien pasca operasi untuk mengurangi risiko infeksi. (Smeltzer, 2001).
3. Diit.
Klien dengan HNP dianjurkan untuk makan makanan yang banyak mengandung serat untuk mencegah konstipasi yang dapat memperberat rasa nyeri.
D. Pengkajian
Pengkajian menurut Marillyn E Doenges (1999), Smeltzer (2001).
1. Aktifitas/Istirahat.
Gejala : Riwayat pekerjaan yang perlu mengangkat benda berat,duduk, mengemudi dalam waktu lama, membutuhkan papan atau matras yang keras saat tidur, penurunan rentang gerak dari ekstremitas pada salah satu bagian tubuh, tidak mampu melakukan aktifitas yang biasa dilakukan.
Tanda : Atrofi otot pada bagian tubuh yang terkena, gangguan dalam berjalan.
2. Eliminasi.
Gejala : konstipasi, adanya inkontinensia urine.
3. Integritas ego.
Gejala : ketakutan akan timbulnya paralisis, ansietas, masalah pekerjaan.
Tanda : cemas, depresi, menghindar dari keluarga atau orang terdekat.
4. Neurosensori.
Gejala : kesemutan, kekakuan, kelemahan dari tangan/ kaki.
Tanda : penurunan refleks tendon dalam, kelemahan otot, nyeri tekan dan spasme otot.
5. Nyeri/ Kenyamanan.
Gejala : nyeri seperti tertusuk pisau yang akan semakin memburuk dengan adanya batuk, bersin, membengkokkan badan, mengangkat beban, defekasi, mengangkat kaki atau fleksi pada leher ; nyeri yang tidak ada hentinya, ; nyeri yang menjalar kekaki, bokong (lumbal), atau bahu/lengan, ; kaku pada leher (servikal), terdengar adanya suara ”krek” saat nyeri baru timbul/ saat trauma atau merasa ”punggung patah”, keterbatasan untuk mobilisasi/ membungkuk kedepan.
Tanda : sikap dengan cara bersandar dari bagian tubuh yang terkena, perubahan cara berjalan,berjalan dengan terpincang-pincang, pinggang terangkat pada bagian tubuh yang terkena, nyeri pada saat palpasi.
6. Keamanan.
Gejala : adanya riwayat masalah ”punggung” yang baru saja terjadi.
7. Penyuluhan/ Pembelajaran.
Gejala : gaya hidup yang monoton atau hiperaktif.
Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik menurut Doenges (1999), Smeltzer (2001), Rasjad (2003), dan Apley (1995).
1. Foto rontgen spinal : memperlihatkan adanya perubahan degeneratif pada tulang belakang/ ruang intervertebralis
2. Elektromiografi (EMG) : dapat melokalisasi lesi pada tingkat akar saraf spinal utama yang terkena , juga menentukan secara pasti akar saraf yang terkena
3. Venogram epidura : dilakukan pada kasus dimana keakuratan dari miogram terbatas.
4. Pungsi lumbal : mengesampingkan kondisi yang berhubungan, infeksi, adanya darah.
5. Tanda LeSeque : dengan mengangkat kaki lurus keatas,dapat mendukung diagnosa awal dari herniasi diskus intervetebra ketika muncul nyeri pada kaki posterior.
6. CT Scan : dapat menunjukkan adanya kanal spinal yang mengecil, adanya protusi diskus intervertebralis.
7. MRI : pemeriksaan non invasive yang dapat menunjukkan adanya perubahan tulang dan jaringan lunak dan dapat memperkuat bukti adanya herniasi discus, memastikan lokasi dan tipe patologi.
8. Mielogram : mungkin memperlihatkan “penyempitan” dari ruang discus, menentukan lokasi, dan ukuran herniasi secara spesifik.
9. Pemeriksaan urine : menyingkirkan kelainan pada saluran kencing.
10. LED : menyingkirkan adanya tumor ganas, infeksi, dan penyakit Reumatik.
E. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada klien pre operasi Laminektomi indikasi HNP menurut Doenges (1999), Tucker (1998).
1. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, gangguan nyeri terus menerus.
2. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis dan tindakan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan atau informasi.
3. Nyeri akut/ kronis berhubungan dengan agen pencedera fisik; kompresi saraf, spasme otot.
4.Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan ketidaknyamanan, spasme otot, kerusakan neuromuskuler.
Diagnosa keperawatan pada klien post operasi Laminektomi menurut Doenges (1999), Tucker (1998).
1. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, gangguan nyeri terus menerus.
2. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah sekunder terhadap edema operasi.
3. Tak efektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru sekunder terhadap nyeri
4. Nyeri akut/ kronis berhubungan dengan agen pencedera fisik; kompresi saraf, spasme otot, insisi pembedahan.
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan ketidaknyamanan, spasme otot, kerusakan neuromuskuler.
6. Konstipasi berhubungan dengan imobilisasi, penurunan aktivitas fisik.
7. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis dan tindakan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan atau informasi.
F. Perencanaan.
Setelah diagnosa keperawatan ditemukan, dilanjutkan dengan menyusun perencanaan untuk masing-masing diagnosa yang meliputi prioritas diagnosa keperawatan, penetapan tujuan dan kriteria evaluasi sebagai berikut :
1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah sekunder terhadap edema operasi.
Tujuan : menunjukkan sirkulasi yang adekuat pada seluruh tubuh
Kriteria hasil : 1) TTV klien terutama Nadi dan tekanan darah normal. 2) Capilarry refill < 3 detik. 3) Tidak ada tanda-tanda sianosis
Perencanaan : 1) Kaji pergerakan aatu sensasi dari ektremitas bawah/kaki (lumbal), dan tangan/lengan (servik). 2) Pertahankan klien dalam posisi terlentang selama beberapa jam. 3) Pantau TTV, catat kehangatan dan pengisian kapiler. 4) Lakukan palpasi pada daerah operasi untuk mengetahui adanya edema. 5) Lakukan pengukuran terhadap drainase (jika menggunakannya). 6) Berikan terapi cairan atau darah sesuai indikasi. 7) Periksa darah lengakp (seperti Hb, Ht, dan eritrosit).
2. Tak efektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru sekunder terhadap nyeri.
Tujuan : jalan nafas klien bersih tidak ada sumbatan
Kriteria hasil : 1) Respiratory rate (RR) klien dalam batas normal (16-22 x/mnt). 2) AGD klien dalam batas normal. 3) Ronchi (-), dan wheezing (-).
Perencanaan : 1) inspeksi adanya edema pada wajah/leher (pada laminektomi servikal). 2) Dengarkan adanya suara yang parau. 3) Auskultasi suara napas, catat adanya suara ronchi atau mengi. 4) Bantu klien untuk melakukan batuk efektif, miring kiri dan kanan, serta napas dalam. 5) Kolaborasi pemberian oksigen jika diperlukan. 6) Pantau hasil analisa gas darah.
3. Nyeri akut/ kronis berhubungan dengan agen pencedera fisik; kompresi saraf,spasme otot, insisi pembedahan.
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil : 1) Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol. 2) Postur dan wajah rileks 3) Mendemonstrasikan keterampilan relaksasi, modifikasi perilaku untuk menghilangkan nyeri. 4) Mengekspresikan perasaan nyaman.
Perencanaan : 1) Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus, tetapkan skala 1-10. 2) Pertahankan tirah baring selama fase akut, letakkan klien pada posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan flexi, posisi terlentang dengan atau tanpa meninggikan kepala 10-3- derajat pada posisi lateral. 3) Bantu pemasangan brace atau korset. 4) Batasi aktivitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan. 5) Anjurkan klien untuk melakukan teknik relaksasi. 6) Anjurkan klien untuk melakukan mekanika tubuh atau gerakan yang tepat. 7) Berikan tempat tidur ortopedik atau letakkan papan dibawah kasur atau matras. 8) Berikan obat sesuai kebutuhan seperti relaksan otot, analgetik, antiinflamasi, antibotik. 9) Pasang penyokong fisik seperti brace lumbal. 10) Konsultasikan dengan ahli terapi fisik (fisioterapi).
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan ketidaknyamanan, spasme otot, kerusakan neuromuskuler.
Tujuan : menunjukkan tingkat aktivitas sesuai toleransi tubuh yang optimal.
Kriteria hasil : 1) Klien dapat beraktivitas sesuai kemampuan. 2) Klien dapat mempertahankan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.
Perencanaan : 1) Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan situasi yang spesifik. 2) Berikan aktifitas yang disesuaikan dengan kemampuan klien. 3) Anjurkan klin untuk melatih kaki bagian bawah / lutut, nilai adanya edema, eritema pada ekstremitas bawah. 4) Bantu klien dalam melakukan aktivitas ambulasi. 5) Berikan perawatan kulit dengan baik, masase titik yang tertekan setelah perubahan posisi. 6) Berikan analgetik kira-kira 30 menit sebelum memindahkan atau melakukan ambulasi klien selama periode akut.
5. Konstipasi berhubungan dengan imobilisasi, penurunan aktivitas fisik.
Tujuan : menunjukkan pola BAB yang normal, serta kontraksi usus yang normal.
Kriteria hasil : 1) Bising usus klien dalam batas normal (8-15 x/mnt). 2) Konsistensi feses lunak atau setengah padat.
Perencanaan : 1) Catat adanya distensi abdomen dan auskultasi bising usus klien. 2) Anjurkan klien untuk melakukan ambulasi sesuai kemampuan. 3) Mulai untuk meningkatkan diet sesuai toleransi pasien. 4) Berikan obat laksatif, pelembek feses sesuai kebutuhan.
6. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, gangguan nyeri terus menerus.
Tujuan : klien menunjukkan ekspresi rileks.
Kriteria hasil : 1) Klien tampak rileks dan mengatakan ansitas berkurang pada tingkat yang dapat diatasi. 2) Mendemontrasikan keterampilan pemecahan masalah.
Perencanaan : 1) Kaji tingkat ansietas klien. 2) Berikan informasi yang akurat dan jawab dengan jujur. 3) Berikan kesempatan klien untuk mengungkapkan masalah yang dihadapi. 4) Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh dan mungkin menghalangi proses penyembuhannya.
7. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis dan tindakan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan atau informasi.
Tujuan : mengatakan pengertiannya tentang kondisi dan tindakan medis yang dilakukan.
Kriteria hasil : 1) Klien mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, prognosis dan tindakan. 2) Melakukan kembali perubahan gaya hidup.
Perencanaan : 1) Jelaskan kembali proses penyakit dan prognosis serta pembatasan kegiatan seperti menghindari mengemudikan kendaraan dalam periode waktu yang cukup lama. 2) Berikan informasi mengenai mekanika tubuh sendiri untuk berdiri, mengangkat, dan menggunakan sepatu penyokong. 3) Diskusikan mengenai pengobatan dan efek sampingnya, seperti halnya beberapa obat yang menyebabkan kantuk yang sangat berat (analgetik, relaksan otot). 4) Anjurkan menggunakan papan/matras yang kuat, bantal kecil yang agak datar dibawah leher, tidur miring dengan lutut difleksikan, hindari posisi telungkup. 5) Diskusikan mengenai kebutuhan diit. 6) Hindari pemakaian pemanas dalam waktu yang lama. 7) Anjurkan untuk melakukan kontrol medis secara teratur.
G. Pelaksanaan
Pelaksanaan merupakan tindakan mandiri dasar berdasarkan ilmiah, masuk akal dalam melaksanakan yang bermanfaat bagi klien yang diantisipasi berhubungan dengan diagnosa keperawatan dan tujuan yang telah ditetapkan. Pelaksanaan merupakan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Tindakan yang dilakukan dapat berupa tindakan mandiri maupun kolaborasi. Dalam pelaksanaan langkah-langkah yang dilakukan adalah mengkaji kembali keadaan klien, validasi rencana keperawatan, menentukan kebutuhan dan bantuan yang diberikan serta menetapkan strategi tindakan yang akan dilakukan. Selain itu juga dalam pelaksanaan tindakan semua tindakan yang dilakukan pada klien dan respon klien pada setiap tindakan keperawatan didokumentasikan dalam catatan keperawatan. Dalam pendokumentasian yang perlu didokumentasikan adalah waktu tindakan dilakukan, tindakan dan respon klien serta diberi tanda tangan sebagai aspek legal dari dokumentasi yang dilakukan.
H. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang dilakukan untuk mengukur seberapa jauh tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai berdasrkan standar dan kriteria yang telah ditetapkan. Evaluasi merupakan aspek penting dalam proses keperawatan , karena menghasilkan kesimpulan apakah intervensi keperawatan dapat diakhiri atau ditinjau kembali atau dimodifikasi. Dalam evaluasi prinsip objektivitas, reliabelitas, dan validitas dapat dipertahankan agar keputusan yang diambil tepat. Evaluasi proses keperawatan sendiri ada dua yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses adalah evaluasi yang dilakukan segera setelah tindakan dilakukan dan didokumentasikan pada catatan keperawatan. Sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi yang dilakukan untuk mengukur sejauh mana pencapaian tujuan yang ditetapkan, dan dilakukan pada akhir asuhan keperawatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar