Paytren

paytren8.com

Kamis, 23 Desember 2010

Asuhan Keperawatan AIDS


A.    Anatomi dan Fisiologi Sistem Imunologi
1.      Defenisi
Sistem imun adalah suatu sistem kompleks yang memberikan respon imun (humoral dan selular) untuk menghadapi agens asing spesifik seperti bakteri, virus, toksin atau zat lain yang oleh tubuh dianggap “bukan bagian diri”.
2.      Karakteristik
a.       Spesifisitas
Sistem imun dapat membedakan berbagai zat asing dan responsnya terutama jika dibutuhkan.
b.      Memori dan amplikasi
Respons imun memiliki kemampuan untuk mengingat kembali kontak sebelumnya dengan suatu agens tertentu, sehingga pajanan berikutnya akan menimbulkan respon yang lebih cepat dan lebih besar.
c.       Pengenalan bagian diri dan bukan bagian diri (asing)
Sistem imun dapat membedakan agens-agens asing, dan sel-sel tubuh sendiri serta protein.
3.      Komponen respon imun
1)       Antigen adalah suatu zat yang menyebabkan respons imun spesifik. Antigen biasanya berupa zat dengan berat molekul besar dan juga kompleks zat kimia seperti protein dan polisakarida.
2)       Determinan antigenik (epitop) adalah kelompok kimia terkecil dari suatu antigen yang dapat membangkitkan respons imun.
3)       Hapten adalah senyawa kecil yang jika sendirian tidak dapat menginduksi respon imun, tetapi senyawa ini menjadi imunogenik jika bersatu dengan carrier yang berat molekulnya besar, seperti protein serum.
4)       Hapten dapat berupa obat, antibiotik, zat tambahan makanan, atau kosmetik.
5)       Antibodi adalah sebagai suatu protein dapat larut yang dihasilkan sistem imun sebagai respons terhadap keberadaan antingen dan akan bereaksi khususnya dengan antigen tersebut.
a)      Struktur
a)      Sebuah molekul antibodi terdiri dari empat rantai polipeptida: dua rantai berat identik dan dua rantai ringan identik. Istilah berat dan ringan mengacu pada berat molekul relatifnya.
b)       Rantai-rantai dihubungkan dengan ikatan disulfide (-S-S-) dan ikatan lain untuk membentuk molekul berbentuk Y yang memiliki area hinge (engsel) fleksibel.
c)      Regia variable pada rantai berat dan ringan terletak dibagian ujung lengan Y. Regia ini membentuk dua sisi pengikat antigen.
d)     Regia variable pada antibodi yang berbeda memiliki rangkaian asam amino yang berbeda.
e)      Spesifisitas suatu antibodi terhadap antigen tertentu bergantung pada struktur regia variabelnya.
f)       Regia konstan terdiri dari lengan Y dan batang molekul, selalu identik pada semua antibodi dari kelas yang sama.
b)      Kelas antibodi. Antibodi adalah sekelompok protein plasma yang disebut immunoglobulin (Ig). Ada lima kelas (isotope) imonoglobulin: IgA, IgE, IgD, IgG dan IgM.
a)      Fungsi utama IgA adalah untuk melawan mikroorganisme pada setiap titik masuk potensial kedalam tubuh. Fungsi molekul ini membantu memicu respons imun.
b)      Molekul IgE biasanya ditemukan dalam konsentrasi darah yang sangat rendah. Molekul ini terikat pada reseptor sel mast dan basofil serta menyebabkan pelepasan histamin dan mediator kimia lainnya.
c)      Molekul IgD dalam serum darah dan limfe relatif sedikit, tetapi banyak ditemukan dalam limfosit B, molekul ini membantu memicu respons imun.
d)     Molekul IgG merupakan satu-satunya antibodi yang dapat menembus plasenta dan memberikan imunisasi pada bayi baru lahir. Molekul ini berfungsi sebagai pelindung terhadap mikroorganisme dan toksin yang bersirkulasi, mengaktivasi sistem komplemen, dan meningkatkan keefektifan sel fagositik.
e)      Molekul IgM merupakan antibodi pertama yang tiba di sisi infeksi pada pajanan awal terhadap antigen. Pajanan kedua mengakibatkan peningkatan produksi IgG. Antibodi IgM mengaktivasi komplemen dan memperbanyak fagositosis, tetapi umur molekul ini relatif pendek. Karena ukurannya, maka molekul ini menetap dalam pembuluh darah dan tidak memasuki jaringan sekitar.
4.      Jenis imunitas
a.       Imunitas aktif didapat akibat kontak langsung dengan mikroorganisme atau toksin sehingga tubuh memproduksi antibodinya sendiri.
b.      Imunitas aktif dapatan secara alami terjadi jika seseorang terpapar satu penyakit dan sistem imun memproduksi antibodi serta limfosit khusus. Imunitas dapat bersifat seumur hidup (campak, cacar) atau sementara (pneumonia pneumokokal, gonore).
c.       Imunitas aktif dapatan secara buatan (terinduksi) merupakan hasil vaksinasi. Vaksin dibuat dari patogen yang mati atau dilemahkan atau toksin yang telah diubah. Vaksin ini dapat merangsang respons imun, tetapi tidak menyebabkan penyakit.
d.      Imunitas pasif terjadi jika antibodi dipindah dari satu individu ke individu lain.
e.       Imunitas pasif alami terjadi pada janin saat antibodi IgG ibu masuk menembus plasenta. Antibodi IgG memberi perlindungan sementara (mingguan sampai bulanan) pada sistem imun yang imatur.
f.       Imunitas pasif buatan adalah imunitas yang diberikan melalui injeksi antibodi yang diproduksi oleh orang atau orang yang kebal karena pernah terpapar suatu antigen. Misalnya, antibodi dari kuda yang sudah kebal terhadap racun ular tertentu dapat diinjeksikan pada individu yang dipatuk ular sejenis.
5.      Sel-sel yang terlibat dalam respons imun.
Tiga jenis sel yang memegang peranan penting dalam imunitas: sel B (limfosit B), sel T (limfosit T), dan makrofag.
a.       Fungsi sel
1)       Sel B adalah antigen spesifik yang berproliferasi untuk merespons antigen tertentu.
2)       Sel T juga menunjukan spesifisitas antigen dan akan berploriferasi jika ada antigen, tetapi sel ini tidak memproduksi antibodi.
a)      Sel T mengenali dan berinteraksi dengan antigen melalui reseptor sel T, yaitu protein permukaan sel yang terikat membran dan analog dengan antibodi.
b)      Sel T memproduksi zat aktif secara imulogis yang disebut limfokin. Sub type limfosit T berfungsi untuk membantu limfosit B merespons antigen, membunuh sel-sel asing tertentu, dan mengatur respons imun.
3)       Makrofag
a)      Makrofag memproses antigen terfagositosis melalui denaturasi atau mencerna sebagian antigen untuk menghasilkan fragmen yang mengandung determinan antigenic.
b)      Makrofag akan meletakkan fragmen antigen pada permukaan selnya sehingga terpapar untuk limfosit T tertentu.
b.      Respons sel B
1)      Sel B merupakan nama bursa fabrisius, yaitu jaringan limfoid yang ditemukan pada ayam. Jaringan sejenis yang ada pada mamalia yaitu sumsum tulang, jaringan limfe usus, dan limpa.
2)      Sel B matur bermigrasi ke organ-organ limfe perifer seperti limpa, nodus limfe, bercak Peyer pada saluran pencernaan, dan amandel.
3)      Sel B matur membawa molekul immunoglobulin permukaan yang terikat dengan membran selnya. Saat diaktifasi oleh antigen tertentu dan dengan bantuan limfosit T, sel B akan derdiferensiasi melalui dua cara.
a)      Sel plasma adalah: Sel B yang telah terdiferensiasi penuh. Sel ini mampu menyintesis dan mensekresi antibodi untuk menghancurkan antigen tertentu.
b)      Sel memori B adalah sel tidak membelah yang berasal dari pecahan limfosit B antigen teraktivasi. Sel memori menetap dalam jaringan limfoid dan siap merespons antigen perangsang yang muncul dalam pajanan selanjutnya dengan respons imun sekunder yang lebih cepat dan lebih besar.
4)      Selection clonal theory mengenai pembentukan antibodi, adalah hipotesis kerja yang menjelaskan kompleksitas fungsi sistem imun.
a)      Respon imun primer berlangsung dengan lambat karena pada awalnya, hanya ada sedikit sel yang memiliki molekul antibodi permukaan atau reseptor sel T untuk merespons antigen.
b)      Respon imun sekunder pada pajanan terhadap antigen yang berikutnya berlangsung lebih cepat dan lebih kuat karena tiruan tambahan dari sel B memori berkembang dan sel T dapat meresponsnya.
c.       Respons sel T
1)      Sel T, seperti sel B berasal dari sel batang prekusor dalam sumsum tulang. Pada periode akhir perkembangan janin atau segera setelah lahir, sel prekusor bermigrasi menuju kelenjar timus, tempatnya berproliferasi, berdiferensiasi dan mendapatkan kemampuan untuk mengenali diri.
a)      Setiap individu memiliki suatu susunan khas tanda protein permukaan sel (antigen) yang dikodekan oleh gen yang disebut sebagai kompleks histokompabilitas mayor (major histocompatibility complex (MHC)). Protein yang dikodekan oleh MHC kelas I dan kelas II penting dalam aktifasi sel T.
(1)      Antigen dikodekan MHC kelas I diproduksi pada permukaan semua sel bernukleus dalam tubuh.
(2)      Antigen dikodekan MHC kelas II hanya ditemukan pada permukaan sel B dan makrofag.
b)      Selama masa kehidupan awal, antigen yang dikodekan MHC sudah tertanam dalam sel T pada kelenjar timus. Ini merupakan dasar untuk rejeksi imun terhadap organ yang dicangkok atau ditransplantasi.
2)      Setelah mengalami diferensiasi dan maturasi, sel T bermigrasi menuju organ limfoid seperti limpa atau nodus limfe. Sel ini dikhususkan untuk melawan sel yang mengandung organisme intraselular.
3)      Sel T efektor
a)      Sel T sitotoksik (sel T pembunuh) mengenali dan menghancurkan sel yang memperlihatkan antigen asing pada permukaannya
(1)   Sel T sitotoksik meninggalkan jaringan limfoid dan bermigrasi menuju lokasi sel targetnya. Disini sel ini mengikat dan menghancurkannya.
(2)   Karena reseptor sel T pada sel T sitotoksik mengenali antigen asing sel target hanya jika sel T juga mengenali antigen yang dokodekan MHC permukaan sel normalnya, maka fungsi sel T sitotoksik disebut sebagai MHC terestriksi.
b)      Sel T pembantu tidak berperan langsung dalam pembunuhan sel. Setelah aktivasi oleh makrofag antigen, sel T pembantu memiliki beberapa fungsi.
(1)   Sel ini diperlukan untuk sistesis antibodi normal.
(2)   Saat pengenalan antigen asing, sel T dan sel T pembantu melepas interleukin-2 yang menginduksi proliferasi sel T sitotoksik.
(3)   Beberapa sel T pembantu akan menolong sel T lain untuk merespons antigen.
(4)   Sel T hipersensitivitas penghambat adalah satu jenis sel T pembantu yang memproduksi zat (limfokin) yang penting dalam reaksi alergi (hipersensitivitas) dan rejeksi transplan.
c)      Sel T supresor, setelah diaktifasi sel T pembantu akan menekan respon sel B dan T.
d)     Limfokin adalah suatu jenis zat yang diproduksi sel T yang berfungsi untuk memodifikasi respons imun.
d.      Sel pembunuh alami adalah suatu jenis populasi limfosit non-T dan non-B yang memiliki sifat sitotoksik.
(Sloane, 2004 ; 252-263)

B.     Penyakit AIDS
1)       Defenisi
Sindrome Imunodefisiensi yang didapat (Acquired Immunodeficiency Syndrome, AIDS) adalah suatu penyakit virus yang menyebabkan kolapsnya sistem imun dan, bagi kebanyakan penderita, kematian dalam 5 tahun setelah diagnosa. (Corwin, Elizabeth. J, 2001 ; 78)
Sindrome Imunodefisiensi yang didapat (AIDS, Acquired Immunodeficiency Syndrome) diartikan sebagai bentuk paling berat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV). (Brunner & Suddarth, 2002 ; 1715)
Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu infeksi oleh salah satu dari 2 jenis virus yang secara progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit, menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dan penyakit lainnya sebagai akibat dari gangguan kekebalan tubuh. (Medicastore, 2004).
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit retrovirus yang ditandai oleh immunosupresi berat yang menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, dan kelainan neurologik. (Sylvia, A. Price, 2006 ; 241).
AIDS atau Acquired Immune Deficiency Sindrome merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV. (Iriyan Gunawan, 2006)
“AIDS is a chronic, life-threatening condition caused by the human immunodeficiency virus (HIV)”.

AIDS adalah penyakit kronis yang mengancam kehidupan yang disebabkan oleh HIV (human immunodeficiency virus). (MayoClinic, 2006)
Dari beberapa defenisi diatas, maka penulis menarik kesimpulan bahwa AIDS adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh oleh virus HIV yang menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, dan kelainan neurologik
2)       Etiologi
AIDS disebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa nama yaitu HTL II, LAV, RAV. Yang nama ilmiahnya disebut Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) yang berupa agen viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T. (Iriyan Gunawan, 2006)
3)       Patofisiologi
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T 4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong.
Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur oportunistik ) muncul, jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS. (Iriyan Gunawan, 2006)
4)       Klasifikasi
Sistem klasifikasi di bagi menjadi kategori laboratorium dan kategori klinis sebagai berikut:
Kategori 1: Lebih dari atau sama dengan 500 sel CD4.
Kategori 2: 200 – 499 sel CD4.
Kategori 3: Kurang dari 200 sel CD4.
Orang-orang dengan keadaan yang merupakan indikator AIDS (kategori C) dan orang yang termasuk didalam kategori A3 atau B3 dianggap menderita AIDS.
a.       Kategori Klinis A
Mencakup satu atau lebih keadaan ini pada dewasa/ remaja dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang sudah dapat dipastikan tanpa keadaan dalam kategori klinis B dan C.
1.      Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang simptomatik.
2.      Limpanodenopati generalisata yang persisten ( PGL : Persistent Generalized Limpanodenophaty ).
3.    Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) primer akut dengan sakit yang menyertai atau riwayat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang akut.
b.      Kategori Klinis B
Contoh-contoh keadaan dalam kategori klinis B mencakup :
1.      Angiomatosis Baksilaris.
2.      Kandidiasis Orofaring/ Vulvavaginal (peristen, frekuen / responnya jelek terhadap terapi.
3.      Displasia Serviks ( sedang / berat Karsinoma Serviks In Situ ).
4.      Gejala konstitusional seperti panas ( 38,5o C ) atau diare lebih dari 1 bulan.
5.      Leukoplakial yang berambut.
6.      Herpes Zoster yang meliputi 2 kejadian yang berbeda / terjadi pada lebih dari satu dermaton saraf.
7.      Idiopatik Trombositopenik Purpura.
8.      Penyakit Inflamasi Pelvis, khusus dengan Abses Tubo Varii.
c.       Kategori Klinis C
Contoh keadaan dalam kategori pada dewasa dan remaja mencakup :
1.      Kandidiasis bronkus, trakea / paru-paru, esophagus.
2.      Kanker Serviks Inpasif .
3.      Koksidiomikosis Ekstrapulmoner / Diseminata.
4.      Kriptokokosis Ekstrapulmoner.
5.      Kriptosporidosis Internal Kronis.
6.      Cytomegalovirus ( bukan hati, lien, atau kelenjar limfe ).
7.      Refinitis Cytomegalovirus ( gangguan penglihatan ).
8.      Enselopathy berhubungan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV).
9.      Herpes simpleks (Ulkus Kronis, Bronchitis,Pneumonitis / Esofagitis ).
10.  Histoplamosis Diseminata / Ekstrapulmoner ).
11.  Isoproasis intestinal yang kronis.
12.  Sarkoma Kaposi.
13.  Limpoma Burkit , Imunoblastik, dan Limfoma primer otak.
14.  Kompleks Mycobacterium Avium ( M. Kansasi yang Diseminata / Ekstrapulmoner).
15.  M.Tubercolusis pada tiap lokasi (pulmoner / ekstrapulmoner ).
16.  Mycobacterium, spesies lain, Diseminata / Ekstrapulmoner.
17.  Pneumonia Pneumocystic Cranii.
18.  Pneumonia Rekuren.
19.  Leukoenselophaty Multifokal Progresiva.
20.  Septikemia Salmonella yang rekuren.
21.  Toksoplamosis otak.
22.  Sindrom Pelisutan akibat Human Immunodeficiency Virus ( HIV).
(Black, Joyce M, 1997 ; 622).
5)       Tanda dan Gejala
Beberapa penderita menampakkan gejala yang menyerupai Mononukleosis Infeksiosa dalam waktu beberapa minggu setelah terinfeksi. Gejalanya berupa demam, ruam-ruam, pembengkakan kelenjar getah bening dan rasa tidak enak badan yang berlangsung selama 3-14 hari. Sebagian besar gejala akan menghilang, meskipun kelenjar getah bening tetap membesar.
Selama beberapa tahun, gejala lainnya tidak muncul. Tetapi sejumlah besar virus segera akan ditemukan di dalam darah dan cairan tubuh lainnya, sehingga penderita bisa menularkan penyakitnya.
Dalam waktu beberapa bulan setelah terinfeksi, penderita bisa mengalami gejala-gejala yang ringan secara berulang yang belum benar-benar menunjukkan suatu AIDS.
Penderita bisa menunjukkan gejala-gejala infeksi HIV dalam waktu beberapa tahun sebelum terjadinya infeksi atau tumor yang khas untuk AIDS. Gejalanya berupa:
-          Pembengkakan kelenjar getah bening.
-          Penurunan berat badan.
-          Demam yang hilang-timbul.
-          Perasaan tidak enak badan.
-          Lelah.
-          Diare berulang.
-          Anemia.
-          Trush (infeksi jamur di mulut).
Secara definisi, AIDS dimulai dengan rendahnya jumlah limfosit CD4+ (kurang dari 200 sel/ mL darah) atau terjadinya infeksi oportunistik (infeksi oleh organisme yang pada orang dengan sistem kekebalan yang baik tidak menimbulkan penyakit). Juga bisa terjadi kanker, seperti Sarkoma Kaposi dan Limfoma Non-Hodgkin. Gejala-gejala dari AIDS berasal dari infeksi HIVnya sendiri serta infeksi oportunistik dan kanker.
Tetapi hanya sedikit penderita AIDS yang meninggal karena efek langsung dari infeksi HIV. Biasanya kematian terjadi karena efek kumulatif dari berbagai infeksi oportunistik atau tumor. Organisme dan penyakit yang dalam keadaan normal hanya menimbulkan pengaruh yang kecil terhadap orang yang sehat, pada penderita AIDS bisa dengan segera menyebabkan kematian, terutama jika jumlah limfosit CD4+ mencapai 50 sel/mL darah.
Beberapa infeksi oportunistik dan kanker merupakan ciri khas dari munculnya AIDS:
1.      Thrush.
Pertumbuhan berlebihan jamur Candida di dalam mulut, vagina atau kerongkongan, biasanya merupakan infeksi yang pertama muncul. Infeksi jamur vagina berulang yang sulit diobati seringkali merupakan gejala dini HIV pada wanita. Tapi infeksi seperti ini juga bisa terjadi pada wanita sehat akibat berbagai faktor seperti pil KB, antibiotik dan perubahan hormonal.
2.      Pneumonia Pneumokistik
Pneumonia karena jamur Pneumocystis Carinii merupakan infeksi oportunistik yang sering berulang pada penderita AIDS. Infeksi ini seringkali merupakan infeksi oportunistik serius yang pertama kali muncul dan sebelum ditemukan cara pengobatan dan pencegahannya, merupakan penyebab tersering dari kematian pada penderita infeksi HIV.
3.      Toksoplasmosis.
Infeksi kronis oleh Toxoplasma sering terjadi sejak masa kanak-kanak, tapi gejala hanya timbul pada sekelompok kecil penderita AIDS. Jika terjadi pengaktivan kembali, maka Toxoplasma bisa menyebabkan infeksi hebat, terutama di otak.
4.      Tuberkulosis.
Tuberkulosis pada penderita infeksi HIV, lebih sering terjadi dan bersifat lebih mematikan. Mikobakterium jenis lain yaitu Mycobacterium Avium, merupakan penyebab dari timbulnya demam, penurunan berat badan dan diare pada penderita tuberkulosa stadium lanjut. Tuberkulosis bisa diobati dan dicegah dengan obat-obat anti tuberkulosa yang biasa digunakan.
5.      Infeksi saluran pencernaan.
Infeksi saluran pencernaan oleh parasit Cryptosporidium sering ditemukan pada penderita AIDS. Parasit ini mungkin didapat dari makanan atau air yang tercemar. Gejalanya berupa diare hebat, nyeri perut dan penurunan berat badan.
6.      Leukoensefalopati multifokal progresif.
Leukoensefalopati multifokal progresif merupakan suatu infeksi virus di otak yang bisa mempengaruhi fungsi neurologis penderita. Gejala awal biasanya berupa hilangnya kekuatan lengan atau tungkai dan hilangnya koordinasi atau keseimbangan. Dalam beberapa hari atau minggu, penderita tidak mampu berjalan dan berdiri dan biasanya beberapa bulan kemudian penderita akan meninggal.
7.      Infeksi oleh Citomegalovirus.
Infeksi ulangan cenderung terjadi pada stadium lanjut dan seringkali menyerang retina mata, menyebabkan kebutaan. Pengobatan dengan obat anti-virus bisa mengendalikan Citomegalovirus.
8.      Sarkoma Kaposi.
Sarkoma Kaposi adalah suatu tumor yang tidak nyeri, berwarna merah sampai ungu, berupa bercak-bercak yang menonjol di kulit. Tumor ini terutama sering ditemukan pada pria homoseksual.
9.      Kanker.
Bisa juga terjadi kanker kelenjar getah bening (limfoma) yang mula-mula muncul di otak atau organ-organ dalam. Wanita penderita AIDS cenderung terkena kanker serviks. Pria homoseksual juga mudah terkena kanker rektum.
(Medicastore, 2004).
6)       Komplikasi
a)      Oral Lesi
Karena Candida, Herpes Simplek, Sarcoma Kaposi, HPV oral, Gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), Leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
b)      Neurologik
-          Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi sosial.
-          Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise, total / parsial.
-          Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler, hipotensi sistemik, dan maranik endokarditis.
-          Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human Immunodeficienci Virus (HIV).
c)      Gastrointestinal
-          Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, Limpoma, dan Sarkoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
-          Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, Sarkoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik, demam atritis.
-          Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan diare.
d)     Respirasi
-          Infeksi karena Pneumocystic Carinii, Cytomegalovirus, virus Influenza, Pneumococcus, dan Strongyloides dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan, gagal nafas.
e)      Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus Herpes Simpleks dan Zoster, Dermatitis karena Xerosis, reaksi otot, lesi scabies/ tuma, dan dekubitus dengan efek nyeri, gatal,  rasa terbakar, infeksi skunder dan sepsis.
f)       Sensorik
-          Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
-          Pendengaran : Otitis Eksternal Akut dan Otitis Media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri.
(Iriyan Gunawan, 2006)
7)       Pemeriksaan Diagnostik
JDL: Anemia dan trombositopenia idiopatik.
SDP: Leukopenia mungkin ada; pergeseran diferensial ke kiri menunjukan proses infeksi (PCP); bergeser ke kanan dapat terlihat. Pada infeksi tertentu, jumlah sel- T rendah, atau tumor sel- T, tak ada pergeseran juga dapat terjadi.
Panel anergi: Anergi kutaneus (kurang reaktivitas pada antigen dimana pasien telah mengetahuinya) adalah indikator yang umum ditemukan pada depresi sel imunitas humorial.
TB (PPD); untuk menentukan pemajanan dan/ atau penyakit aktif (harus diberikan dengan panel anergi untuk menentukan hasil negatif-palsu pada respons definensi imun). Pada pasien AIDS, 100% akan memiliki mikobakterium TB positif pada kehidupan mereka bila terjadi kontak.
Serologis:
Tes antibodi serum: Skrining HIV dengan ELISA. Hasil tes positf mungkin akan mengindikasikan adanya HIV tetapi bukan merupakan Diagnosa.
Tes blot Western; Mengkonfirmasikan Diagnosa HIV.
Sel T-limfosit: Penurunan jumlah total.
Sel T4-helper (indikator sistem imun yang menjadi media banyak proses sistem imun dan menandai sel B untuk menghasilkan antibodi terhadap bakteri asing): Jumlah yang kurang dari 200 mengindikasikan respons defisiensi imun hebat.
T8 (sel supresor sitopatik): Rasio terbalik (2:1 atau lebih besar) dari sel supresor pada sel helper (T8 ke T4) mengindikasikan supresi imun.
P24 (protein pembungkus HIV): Peningkatan nilai kuantitatif protein ini dapat mengindikasikan progresi infeksi. (Mungkin tidak dapat dideteksi pada stadium awal dari infeksi HIV).
Kadar Ig: umumnya meningkat, terutama IgG dan IgA dengan IgM yang normal ataupun mendekati normal (indikator kemampuan tubuh untuk menunjukan bila proses penularan telah lengkap tetapi umumnya digunakan karena faktor-faktor lain dapat mengubahnya, mis: polutan lingkungan).
Reaksi rantai polymerase: Mendeteksi adanya DNA virus dalam jumlah yang sedikit infeksi sel perifer monoseluler.
Tes PHS: Pembungkus hepatitis B dan inti antibodi, Sifilis, CMV mungkin positif.
Budaya: Histologis, pemeriksaan sitologis urine, darah, feses, cairan spinal, luka, sputum, dan sekresi mungkin dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan infeksi. Beberapa yang paling umum  diidentifikasi sebagai berikut:
Infeksi parasit dan protozoa: PCP kriptosporidiosis, toksoplasmosis.
Infeksi jamur: Candida albicans (kandidiasis), Cryptococus neoformans (kriptokokosis); histoplasma capsulatum (histoplasmosis).
Infeksi bakteri: Micobacterium Avium-Intercellulare, TB Mikobakterial Milier, Shigella (Sigelosis), Salmonella (Saltoplasmosis).
Infeksi viral: CMV, Herpes Simpleks, Herpes Zoster.
Pemeriksaan neurologis, mis: EEG, MRI, skan CT otak: EMG/ pemeriksaan konduksi saraf: Di indikasikan untuk perubahan mental, demam yang tidak diketahui asalnya dan/ atau perubahan fungsi sensori/ motor.
Sinar x dada; Mungkin normal pada awalnya atau menyatakan perkembangan infiltrasi interstisial dan PCP tahap lanjut (penyakit yang paling umum terjadi) ataupun komplikasi pulmonal lainnya.
Skan gallium: ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk-bentuk pneumonia lainnya.
Biopsies: Mungkin dilakukan untuk diagnosa yang berbeda bagi KS ataupun lesi neoplastik lainnya.
Brankoskopi/ pencucian trakeobronkial: Mungkin dilakukan dengan biopsi pada waktu PCP ataupun diduga adanya kerusakan pada paru-paru.
Menelan barium, endoskopi, kolonoskopi: Mungkin dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan infeksi (mis: candida, CMV) atau menentukan tahap KS pada sistem GI.
(Doenges, Marilynn. E, 2000 ; 836-837)
8)       Penatalaksanaan
Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu :
a.       Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.
b.      Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
c.       Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah : Didanosine, Ribavirin, Diedoxycytidine, Recombinant CD 4 dapat larut.
d.      Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
e.       Pendidikan untuk menghindari alkohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat, hindari stress, gizi yang kurang, alkohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.
f.       Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
(Iriyan Gunawan, 2006)
9)       Pencegahan
Program pencegahan penyebaran HIV dipusatkan terutama pada pendidikan masyarakat mengenai cara penularan HIV, dengan tujuan merubah kebiasaan orang-orang yang beresiko tinggi untuk tertular. Cara-cara pencegahan ini adalah:
a.       Untuk orang sehat
- Abstinens (tidak melakukan hubungan seksual)
- Seks aman (terlindung)

b.      Untuk penderita HIV positif
- Abstinens
- Seks aman
- Tidak mendonorkan darah atau organ
- Mencegah kehamilan
- Memberitahu mitra seksualnya sebelum dan sesudah diketahui terinfeksi
c.       Untuk penyalahguna obat-obatan
- Menghentikan penggunaan suntikan bekas atau bersama-sama
- Mengikuti program rehabilitasi
d.      Untuk profesional kesehatan
-          Menggunakan sarung tangan lateks pada setiap kontak dengan cairan tubuh.
-          Menggunakan jarum sekali pakai.
Bermacam-macam vaksin sudah dicoba untuk mencegah dan memperlambat progresivitas penyakit, tapi sejauh ini belum ada yang berhasil. Rumah sakit biasanya tidak mengisolasi penderita HIV kecuali penderita mengidap penyakit menular seperti tuberkulosa. Permukaan-permukaan yang terkontaminasi HIV dengan mudah bisa dibersihkan dan disucihamakan karena virus ini rusak oleh panas dan cairan desinfektan yang biasa digunakan seperti hidrogen peroksida dan alkohol.
(Medicastore, 2004)
C.    Konsep Dasar Asuhan Keperawatan AIDS
Proses keperawatan adalah metode dimana suatu konsep diterapkan dalam praktik keperawatan. Hal ini bisa disebut sebagai suatu pendekatan problem solving yang memerlukan ilmu, tehnik dan keterampilan interpersonal dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien/ keluarga. Proses keperawatan terdiri dari lima tahap yang sequensial dan berhubungan : pengkajian, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi (Nursalam, 2001; 2).
Proses keperawatan adalah satu pendekatan untuk pemecahan masalah yang memungkinkan seorang perawat untuk mengorganisir dan memberikan asuhan keperawatan. Proses keperawatan merupakan suatu elemen dari pemikiran kritis yang memperbolehkan perawat untuk membuat keputusan dan mengambil tindakan yang didasarkan atas pertimbangan. Suatu proses adalah satu rangkaian dari langkah-langkah atau komponen-komponen petunjuk / penentu untuk mencapai tujuan. Tiga karakteristik dari suatu proses adalah Purpose, Organization dan Creativity (Bevis,1978). “Purpose” adalah tujuan atau maksud yang spesifik dari proses. Proses keperawatan digunakan untuk mendiagnosa dan merawat respon manusia pada kondisi sehat dan sakit. (American Nurses Association,1980). “Organization” adalah tahapan atau langkah-langkah atau komponen-komponen yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Proses keperawatan mengandung 5 langkah : Pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. “Creativity” adalah pengembangan lanjut dari proses itu. Proses keperawatan dinamis dan berlanjut terus menerus. (Potter Perry, 1997 ; 103)
Asuhan keperawatan adalah faktor penting dalam survival pasien dan dalam aspek-aspek pemeliharaan, rehabilitatif dan preventif perawatan kesehatan. Untuk sampai pada hal ini, profesi keperawatan telah mengidentifikasikan proses pemecahan masalah yang menggabungkan elemen yang paling diinginkan dari seni keperawatan dengan elemen yang paling relevan dari sistem teori, dengan menggunakan metode ilmiah. (Doenges, 1999 ; 6, dikutip dari Shore,1998).
Dalam melakukan asuhan keperawatan terdapat beberapa langkah yang harus ditempuh.  Adapun langkah tersebut adalah sebagai berikut :


1.        Pengkajian
Merupakan tahapan awal dari proses keperawatan yang merupakan dasar dari kegiatan selanjutnya, yang dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan sistematis dalam mengumpulkan data dan menganalisanya sehingga dapat diketahui kebutuhan klien sesuai dengan masalah yang ada.
Tahap pengkajian adalah pengumpulan data yang diperoleh dengan wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta mempelajari cacatan lain tentang status kesehatan klien.
Dalam tahap ini akan dikumpulkan identitas klien, riwayat kesehatan, riwayat kesehatan keluarga, riwayat psikososial, pola-pola fungsi kesehatan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Riwayat kesehatan meliputi riwayat penyakit dahulu yang terdiri dari riwayat masuk rumah sakit, penyakit yang diderita, riwayat alergi dan obat-obatan yang sering digunakan. Riwayat penyakit sekarang meliputi keluhan utama dari klien seperti sesak, batuk, demam, nyeri abdomen, berkeringat serta sejak kapan gejala-gejala tersebut timbul.
Riwayat keluarga meliputi penyakit yang pernah diderita anggota keluarga yang mungkin ada hubungannya dengan kondisi klien, riwayat penyakit keturunan seperti asma, DM, penyakit jantung dan genogram keluarga klien.
Riwayat psikososial menyatakan tingkat perasaan/ emosi klien dan keberadaan klien dalam keluarga.
Pada pola-pola fungsi kesehatan meliputi keadaan nutrisi seperti adanya alergi terhadap makanan, berat badan tidak sesuai dengan tinggi badan, apakah ada muntah, mual dan nyeri abdomen. Pola eliminasi seperti kesulitan miksi dan frekuensinya. Pola tidur yang meliputi lamanya tidur, apakah susah tidur akibat sesak. Pola aktifitas seperti sesak waktu beraktifitas.
Data dasar yang biasanya didapat pada klien AIDS adalah :
a.       Aktivitas/ Istirahat
Gejala    :   Mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya, progresi kelelahan/ malaise, perubahan pola tidur
Tanda    :   Kelemahan otot, menurunnya massa otot.
                  Respon fisiologis terhadap aktifitas seperti perubahan dalam TD, frekuensi jantung pernafasan.
b.      Sirkulasi
Gejala    :   Proses penyembuhan luka yang lambat (bila anemia); perdarahan lama pada cedera (jarang terjadi).
Tanda    :   Takikardia, perubahan TD postural.
                  Menurunnya volume nadi perifer.
                  Pucat atau sianosis; perpanjangan pengisian kapiler.           



c.       Integritas Ego
Gejala    :   Faktor stress yang berhubungan dengan kehilangan, mis: dukungan keluarga, hubungan dengan orang lain, penghasilan, gaya hidup tertentu dan distress spiritual.
                  Mengkuatirkan penampilan: alopesia, lesi cacat dan menurunnya berat badan.
                  Mengingkari diagnosa, merasa tidak berdaya, putus asa, tidak berguna, rasa bersalah, kehilangan kontrol diri dan depresi.
Tanda    :   Mengingkari cemas, depresi, takut, menarik diri.
                  Perilaku marah, postur tubuh mengelak, menangis dan kontak mata yang kurang.
                  Gagal menepati janji atau banyak janji untuk periksa dengan gejala yang sama.
d.      Eliminasi
Gejala    :   Diare yang intermiten, terus menerus, sering dengan atau tanpa disertai kram abdominal.
                  Nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi.
Tanda    :   Feces encer dengan atau tanpa disertai mukus atau darah.
                  Diare yang pekat atau sering.
                  Nyeri tekan abdominal.
                  Lesi atau Abses Rectal, perineal.
                  Perubahan dalam jumlah, warna, dan karakteristik urine.
e.       Makanan/ Cairan
Gejala    :   Tidak nafsu makan, perubahan dalam kemampuan mengenali makan, mual/ muntah.
                  Disfagia, nyeri retrosternal saat menelan.
Tanda    :   Dapat menunjukkan adanya bising usus hiperaktif.
                  Penurunan berat badan : perawakan kurus, menurunnya lemak subkutan/ massa otot.
                  Turgor kulit buruk.
                  Lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih dan perubahan warna.
                  Kesehatan gigi/ gusi yang buruk, adanya gigi yang tanggal.
                  Edema (umum, dependen).
f.       Higiene
Gejala    :   Tidak dapat menyelesaikan AKS.
Tanda    :   Memperlihatkan penampilan yang tidak rapi.
                  Kekurangan dalam banyak atau semua perawatan diri, aktifitas perawatan diri.
g.      Neurosensori
Gejala    :   Pusing/ pening, sakit kepala.
                  Perubahan status mental, kehilangan ketajaman atau kemampuan diri untuk mengatasi masalah, tidak mampu mengingat dan konsentrasi menurun.
                  Kerusakan sensasi atau indera posisi dan getaran.
                  Kelemahan otot, tremor, dan perubahan ketajaman penglihatan.
                  Kebas, kesemutan pada ekstremitas (kaki tampak mununjukkan perubahan paling awal).
Tanda    :   Perubahan status mental dengan rentang antara kacau mental sampai demensia, lupa, konsentrasi buruk, tingkat kesadaran buruk, apatis, retardasi psikomotor/ respon melambat.
                  Ide paranoid, ansietas yang berkembang bebas, harapan yang tidak realistis.
                  Timbul reflek tidak normal, menurunnya kekuatan otot dan gaya berjalan ataksia.
                  Tremor pada motorik kasar/ halus, menurunnya motorik fokalis: hemiparesis, kejang.
                  Hemoragi retina dan eksudat (renitis CMV)
h.      Nyeri/ Kenyamanan
Gejala    :   Nyeri umum atau lokal, sakit, rasa terbakar pada kaki.
                  Sakit kepala (keterlibatan SSP).
                  Nyeri dada pleuritis.
Tanda    :   Pembengkakan pada sendi, nyeri pada kelenjar, nyeri tekan.
                  Penurunan rentang gerak, perubahan gaya berjalan/ pincang.
                  Gerak otot melindungi bagian yang sakit.
i.        Pernafasan
Gejala    :   Nafas pendek yang progresif.
                  Batuk (mulai dari sedang sampai parah), produktif/ non produktif sputum (tanda awal dari adanya PCP mungkin batuk spasmodik saat nafas dalam).
                  Bendungan atau sesak pada dada.
Tanda    :   Takipnea, distress pernafasan.
                  Perubahan pada bunyi nafas/ bunyi nafas adventisius.
                  Sputum: kuning (pada pneumonia yang menghasilkan sputum).
j.        Keamanan
Gejala    :   Riwayat jatuh, terbakar, pingsan, luka yang lambat proses penyembuhannya.
                  Riwayat menjalani tranfusi darah yang sering atau berulang (mis: Hemofilia, Operasi Vaskuler Mayor, insiden traumatis).
                  Riwayat penyakit defisiensi imun, yakni kanker tahap lanjut.
                  Riwayat/ berulangnya infeksi dengan PHS.
                  Demam berulang: suhu rendah, peningkatan suhu intermiten/ memuncak: berkeringat malam.
Tanda    :   Perubahan integritas kulit: terpotong, ruam, mis: ekzema, eksantem, psoriasis, perubahan ukuran/ warna mola: mudah terjadi memar yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
                  Rektum, luka-luka perianal atau abses.
                  Timbulnya nodul-nodul, pelebaran kelenjar limfe pada dua area tubuh atau lebih (mis: leher, ketiak, paha).
                  Menurunnya kekuatan umum, tekanan otot, perubahan pada gaya berjalan.
k.      Seksualitas
Gejala    :   Riwayat perilaku beresiko tinggi yakni mengadakan hubungan seksual dengan pasangan yang positif HIV, pasangan seksual multipel, aktifitas seksual yang tidak terlindung, dan seks anal.
                  Menurunnya libido, terlalu sakit untuk melakukan hubungan seks.
                  Penggunaan kondom yang tidak konsisten.
                  Menggunakan pil pencegah kehamilan (meningkatkan kerentanan terhadap virus pada wanita yang diperkirakan dapat terpajan karena peningkatan kekeringan/ friabilitas vagina).
Tanda    :   Kehamilan atau resiko terhadap hamil.
                  Genetalia: manifestasi kulit (mis: herpes, kutil): rabas.
l.        Interaksi Sosial
Gejala    :   Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, mis: kehilangan kerabat/ orang terdekat, teman, pendukung. Rasa takut untuk mengungkapkannya pada orang lain, takut akan penolakan/ kehilangan pendapatan.
                  Isolasi, kesepian, teman dekat ataupun pasangan seksual yang meninggal karena AIDS.
                  Mempertanyakan kemampuan untuk tetap mandiri, tidak mampu membuat rencana.
Tanda    :   Perubahan pada interaksi keluarga/ orang terdekat.
                  Aktifitas yang tak terorganisasi, perubahan penyusunan tujuan.
m.    Penyuluhan/ Pembelajaran
Gejala    :   Kegagalan untuk mengikuti perawatan, melanjutkan perilaku beresiko tinggi ( mis: seksual ataupun penggunaan obat-obatan IV).
                  Penggunaan/ penyalahgunaan obat-obatan IV, saat ini merokok, penyalahgunaan alkohol.
Pertimbangan : DRG menunjukkan rata- rata lama dirawat : 10,2 hari.
Rencana pemulangan : Memerlukan bantuan keuangan, obat-obatan, perawatan kulit/ luka, peralatan/ bahan: transportasi, belanja makanan dan persiapan: perawatan diri, prosedur keperawatan teknis, tugas perawatan/ pemeliharaan rumah, perawatan anak: perubahan fasilitas hidup.
(Marilynn E. Doenges, 2000 ; 833-836).
2.        Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pendapat tentang respon individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah – masalah yang bersifat aktual atau potensial (Carpenito, 1997; 4).
Tujuan diagnosa keperawatan adalah untuk mengidentifikasi :
a.       Masalah dimana adanya respon klien terhadap status kesehatan atau penyakit.
b.      Faktor-faktor yang menunjang atau menyebabkan suatu masalah.
c.       Kemampuan klien untuk mencegah atau menyelesaikan masalah.
Langkah-langkah dalam diagnosa keperawatan dapat dibedakan menjadi :
a.       Klasifikasi dan analisa data.
b.      Interpretasi data.
c.       Validasi data.
d.      Perumusan diagnosa keperawatan.
(Nursalam, 2001; 36).
Diagnosa keperawatan dapat dibedakan menjadi 5 kategori : aktual, resiko, kemungkinan, keperawatan wellnes, keperawatan sindrom. (Carpenito, 2000; 5).
Diagnosa yang mungkin timbul pada AIDS adalah :
a.       Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tak efektif, kulit rusak, jaringan traumatik, statis cairan tubuh, depresi sistem imun; penggunaan agen antimikroba, pemajanan lingkungan, teknik invasif, penyakit kronis: malnutrisi.
b.      Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan yang berlebihan: diare berat, berkeringat, muntah, status hipermetabolisme, demam, pembatasan masukan: mual, anoreksia, letargi.
c.       Resiko pola nafas tidak efektif, perubahan/ kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan muskuler, menahan sekresi, proses infeksi/ inflamasi; rasa sakit, ketidakseimbangan perfusi ventilasi.
d.      Resiko cedera berhubungan dengan penurunan absorpsi  vitamin K, perubahan pada fungsi hepar, munculnya antibodi antiplatelet autoimun, keganasan, sirkulasi endotoksin (sepsis).
e.       Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan atau perubahan pada kemampuan untuk mencerna, mengunyah atau nutrisi metabolisme: mual/ muntah, gangguan intestinal, peningkatan laju metabolisme/ kebutuhan nutrisi.
f.       Nyeri akut/ kronis berhubungan dengan inflamasi/ kerusakan jaringan: infeksi, lesi kutaneus internal/ eksternal, ekskoriasi rectal, penularan nekrosis, neuropati perifer, mialgia dan antralgia, kejang abdomen.
g.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan tingkat aktifitas, perubahan sensasi, malnutrisi, perubahan status metabolisme.
h.      Perubahan membran mukosa oral berhubungan dengan defisit imunologis, kesehatan oral tidak efektif, efek samping dari obat-obatan, kemoterapi.
i.        Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi matabolisme, peningkatan kebutuhan energi, perubahan kimia tubuh, efek samping obat-obatan, kemoterapi.
j.        Perubahan proses pikir berhubungan dengan hipoksemia, infeksi SSP oleh HIV, malignansi otak, infeksi oportunistik sistemik diseminata.
k.      Ansietas/ ketakutan berhubungan dengan ancaman pada konsep pribadi, ancaman kematian, fungsi peran, pemisahan dari sistem pendukung, ketakutan akan penularan penyakit pada keluarga/ yang dicintai.
l.        Isolasi sosial berhubungan dengan perubahan status kesehatan, perubahan penampilan fisik, perubahan status mental, persepsi tentang tidak dapat diterima dalam masyarakat, isolasi fisik.
m.    Ketidakberdayaan berhubungan dengan konfirmasi diagnosa sakit terminal, proses berduka yang belum selesai,  perubahan pada bentuk tubuh.
n.      Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kesalahan interpretasi informasi, keterbatasan kognitif, tidak mengenal sumber informasi.
(Marilynn E. Doengoes, 2000 ; 838-858)
3.        Perencanaan
Perencanaan merupakan pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi, mengoreksi, masalah-masalah yang diidentifikasi pada diagnosa keperawatan. Tahap ini dimulai setelah menentukan diagnosa keperawatan dan menyimpulkan rencana dokumentasi.
Ada beberapa komponen yang perlu diperhatikan dalam langkah-langkah penyusunan perencanaan yaitu : menentukan prioritas, menentukan kriteria hasil, menentukan rencana tindakan dan dokumentasi. (Nursalam, 2001; 41)
Untuk menentukan prioritas ada dua hirarki yang dapat digunakan yaitu :
a.       Hirarki “Maslow”, membagi kebutuhan dalam lima tahap yaitu : kebutuhan fisiologis, rasa aman dan nyaman, sosial, harga diri dan aktualisasi.

Penjelasan :
1.      Kebutuhan fisiologis (physiological need) yang merupakan kebutuhan pokok utama.
Misalnya   :   udara segar O2, air (H2O), cairan elektrolit, makan dan seks.
2.      Kebutuhan akan rasa aman (safety need)
Misalnya   :   rasa aman terhindar dari penyakit, gangguan pencurian, perlindungan hukum.
3.      Kebutuhan mencintai dan dicintai (love need)
Misalnya   :   mendambakan kasih sayang, ingin dicintai/ diterima oleh kelompok.
4.      Kebutuhan harga diri (esteem need)
Misalnya   :   ingin dihargai/ menghargai : adanya respek dari orang lain, toleransi dalam hidup berdampingan.
5.      Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs)
Misalnya   :   ingin diakui/ dipuja, ingin berhasil, ingin lebih menonjol lebih dari orang lain.
b.      Hiraki “Kalish”, menjelaskan kebutuhan Maslow lebih mendalam dengan membagi kebutuhan fisiologi menjadi kebutuhan untuk bertahan hidup dan stimulasi (Nursalam, 2001; 42).
Setelah penyusunan prioritas perencanaan diatas maka langkah selanjutnya adalah penyusunan rencana tindakan. Adapun rencana tindakan dari diagnosa keperawatan yang muncul pada AIDS adalah sebagai berikut :
a.       Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tak efektif, kulit rusak, jaringan traumatik, statis cairan tubuh, depresi sistem imun; penggunaan agen antimikroba, pemajanan lingkungan, teknik invasif, penyakit kronis: malnutrisi.
Tujuan             :   Mengidentifikasi/ ikut serta dalam perilaku yang mengurangi resiko infeksi.
Kriteria hasil   :   Mencapai masa penyembuhan luka/ lesi.
                            Tidak demam dan bebas dari pengeluaran/ sekresi purulen dan tanda-tanda lain dari kondisi infeksi.
Intervensi        :
Mandiri
1.        Cuci tangan sebelum dan sesudah seluruh kontak perawatan dilakukan. Instruksikan pasien/ orang terdekat untuk mencuci tangan sesuai indikasi.
Rasional   :   Mengurangi resiko kontaminasi silang.
2.        Berikan lingkungan yang bersih dan berventilasi baik. Periksa pengunjung/ staf terhadap tanda infeksi dan pertahankan kewaspadaan sesuai indikasi.
Rasional   :   Mengurangi patogen pada sistem imun dan mengurangi kemungkinan pasien mengalami infeksi nasokomial.
3.        Diskusikan tingkat dan rasional isolasi pencegahan dan mempertahankan kesehatan pribadi.
Rasional   :   Meningkatkan kerja sama dengan cara hidup dengan berusaha mengurangi rasa terisolasi.
4.        Pantau tanda-tanda vital.
Rasional   :   Memberikan data dasar.
5.        Kaji frekuensi/ kedalaman pernafasan, perhatikan batuk spasmodik kering pada inspirasi dalam, perubahan karakteristik sputum, dan adanya mengi/ ronki.
Rasional   :   Kongesti/ distress pernafasan dapat mengindikasikan perkembangan PCP, penyakit yang paling umum terjadi.
6.        Selidiki keluhan sakit kepala, kaku leher, perubahan penglihatan. Catat perubahan mental dan tingkah laku.
Rasional   :   Ketidaknormalan neurologis umum dan mungkin dihubungkan dengan HIV ataupun infeksi sekunder.
7.        Periksa kulit/ membran mukosa oral terhadap bercak putih.
Rasional   :   Kandidiasis oral, KS, Herpes, CMV dan Cryptococcus adalah penyakit yang umum terjadi dan memberi efek pada membran kulit.
8.        Bersihkan kuku setiap hari.
Rasional   :   Mengurangi resiko transmisi bakteri patogen melalui kulit.
9.        Pantau keluhan nyeri ulu hati, Disfagia, sakit retrosternal pada waktu menelan, peningkatan kejang abdominal, diare hebat.
Rasional   :   Esofagitis mungkin terjadi sekunder akibat kandidiasis oral ataupun Herpes.
10.    Periksa adanya luka/ lokasi alat invasif, perhatikan tanda-tanda inflamasi/ infeksi lokal.
Rasional   :   Identifikasi/ perawatan awal dari infeksi sekunder dapat mencegah terjadinya sepsis.
11.    Awasi pembuangan jarum suntik dan mata pisau secara ketat dengan menggunakan wadah tersendiri.
Rasional   :   Mencegah inokulasi tak disengaja dari pemberi perawatan.
12.    Beri label pada tabung darah, wadah cairan tubuh, pembalut/ linen yang kotor dan dibungkus dengan layak untuk pembuangan setiap protokol isolasi.
Rasional   :   Menghindari kontaminasi silang dan mewaspadakan personel dengan layak.
13.    Bersihkan percikan cairan tubuh/ darah dengan larutan pemutih.
Rasional   :   Mengontrol mikroorganisme pada permukaan keras.
Kolaborasi       :
14.    Periksa kultur/ sensitivitas lesi, darah, urine dan sputum.
Rasional   :   Dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab demam, diagnosa infeksi organisme atau untuk menentukan metode perawatan yang sesuai.
15.    Berikan antibiotik anti jamur/ agen anti mikroba.
Rasional   :   Menghambat proses infeksi.

b.      Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan yang berlebihan: diare berat, berkeringat, muntah, status hipermetabolisme, demam, pembatasan masukan: mual, anoreksia, letargi
Tujuan             :   Mempertahankan hidrasi.
Kriteria hasil   :   Membran mukosa lembab, turgor kulit membaik, tanda-tanda vital stabil, haluaran urine adekuat secara pribadi.
Intervensi        :  
Mandiri
1.        Pantau tanda-tanda vital.
Rasional   :   Indikator dari volume cairan sirkulasi.
2.        Catat peningkatan suhu dan durasi demam.
Rasional   :   Meningkatkan kebutuhan metabolisme dan diaforesis yang berlebihan.

3.        Kaji tugor kulit, membran mukosa, dan rasa haus.
Rasional   :   Indikator tidak langsung dari status cairan.
4.        Ukur haluaran urine dan berat jenis urine.
Rasional   :   Peningkatan berat jenis urine/ penurunan haluaran urine menunjukan perubahan perfusi ginjal/ volume sirkulasi.
5.        Timbang berat badan sesuai indikasi.
Rasional   :   Meskipun kehilangan berat badan dapat menunjukan penggunaan otot, fluktuasi tiba-tiba menunjukan status hidrasi.
6.        Pantau pemasukan oral dan memasukan cairan sedikitnya 2500 ml/ hari.
Rasional   :   Mempertahankan keseimbangan cairan, mengurangi rasa haus, dan melembabkan membran mukosa.
7.        Hilangkan makanan yang potensial menyebabkan diare, yakni yang pedas/ makanan berkadar lemak tinggi, kacang, kubis, susu.
Rasional   :   Mungkin dapat mengurangi diare.
Kolaborasi       :
8.        Berikan cairan/ elektrolit melalui selang pemberi makanan/ IV.
Rasional   :   Mungkin diperlukan untuk mendukung/ memperbesar volume sirkulasi, terutama jika pemasukan oral tak adekuat, mual/ muntah terus menerus.
9.        Pantau hasil pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi mis: Hb/ Ht, Elektolit serum/urine, BUN/ Kreatinin.
Rasional   :   Bermanfaat dalam memperkirakan kebutuhan cairan.
10.    Berikan obat-obatan sesuai indikasi: Antiemetik, Antidiare, Antiseptik
Rasional   :   Mengurangi insiden muntah, menurunkan jumlah dan keenceran fases, membantu mengurangi demam dan respons hipermetabolisme, menurunkan kehilangan cairan tak kasatmata.
11.    Auskultasi bunyi napas
Rasional   :   Memperkirakan adanya perkembangan komplikasi/ infeksi pernapasan.

c.       Resiko pola nafas tidak efektif, perubahan/ kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan muskuler, menahan sekresi, proses infeksi/ inflamasi; rasa sakit, ketidakseimbangan perfusi ventilasi
Tujuan             :   Mempertahankan pola pernafasan efektif.
Kriteria hasil   :   Tidak mengalami sesak nafas/ sianosis, bunyi nafas dan sinar X bagian dada yang bersih/ meningkat dan GDA dalam batas normal pasien.
Intervensi        :  
Mandiri
1.      Auskultasi bunyi nafas.
Rasional   :   Memperkirakan adanya perkembangan komplikasi/ infeksi pernafasan.
2.      Catat kecepatan/ kedalaman pernapasan, sianosis, penggunaan otot aksesoris/ peningkatan kerja pernapasan dan munculnya dispnea, ansietas.
Rasional   :   Takipnea, sianosis, tak dapat beristirahat, dan peningkatan napas menunjukan kesulitan pernapasan dan adanya kebutuhan untuk meningkatkan pengawasan/ intervensi medis.
3.      Tinggi kepala tempat tidur, usahakan pasien untuk berbalik, batuk, menarik napas sesuai kebutuhan.
Rasional   :   Meningakatkan fungsi pernapasan yang optimal dan mengurangi aspirasi atau infeksi yang ditimbulkan karena atelektasis.
4.      Hisap jalan napas sesuai kebutuhan, gunakan teknik steril dan lakukan tindakan pencegahan.
Rasional   :   Membantu membersihkan jalan napas, sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran gas dan mencegah komplikasi pernapasan.
5.      Kaji perubahan tingkat kesadaran.
Rasional   :   Hipoksemia dapat terjadi akibat adanya perubahan tingkat kesadaran mulai dari ansietas dan kekacauan mental sampai kondisi tidak responsif.
6.      Berikan periode istirahat yang cukup diantara waktu aktivitas perawatan, pertahankan lingkungan yang tenang.
Rasional   :   Menurunkan konsumsi O2.
Kolaborasi       :  
7.      Lakukan fisioterapi dada.
Rasional   :   Melepaskan sekresi, mengeluarkan mukus yang menyumbat untuk meningkatkan bersihan jalan napas.
8.      Berikan tambahan O2.
Rasional   :   Mempertahankan ventilasi/ oksigenasi efektif untuk mencegah/ memperbaiki krisis pernapasan.
9.      Berikan obat-obatan sesuai indikasi: Bronkodilator, ekspektoran, depresan batuk.
Rasional   :   Mungkin diperlukan untuk meningkatkan/ mempertahankan jalan napas atau untuk membantu membersihkan sekresi.

d.      Resiko cedera berhubungan dengan penurunan absorpsi  vitamin K, perubahan pada fungsi hepar, munculnya antibodi antiplatelet autoimun, keganasan, sirkulasi endotoksin (sepsis)
Tujuan             :   Resiko cedera tidak terjadi
Kriteria hasil   :   Menunjukkan homeostatis yang ditunjukkan dengan tidak adanya perdarahan mukosa dan bebas dari ekimosis.
Intervensi        :  
Mandiri
1.      Lakukan pemeriksaan darah pada cairan tubuh untuk mengetahui adanya darah pada urine, feses, dan cairan muntah.
Rasional   :   Mempercepat deteksi adanya perdarahan/ penentuan awal dari terapi mungkin dapat mencegah perdarahan kritis.
2.      Pantau perubahan tanda-tanda vital dan warna kulit, mis.,tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, pucat kulit/ perubahan warna.
Rasional   :   Timbulnya perdarahan/ hemoragi dapat menunjukan kegagalan sirkulasi/ syok.
3.      Pantau perubahan tingkat kesadaran dan gangguan penglihatan.
Rasional   :   Perubahan dapat menunjukan adanya perdarahan otak.


4.      Mempertahankan lingkungan yang aman.
Rasional   :   Mengurangi cedera yang tidak disengaja, yang dapat menyebabkan perdarahan.
5.      Pertahankan istirahat ditempat tidur/ kursi
Rasional   :   Mengurangi kemungkinan cedera.
Kolaborasi       :  
6.      Tinjau ulang pemeriksaan laboratorium
Rasional   :   Mendeteksi gangguan kemampuan pembekuan; mengidentifikasi kebutuhan terapi.

e.       Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan atau perubahan pada kemampuan untuk mencerna, mengunyah atau nutrisi metabolisme: mual/ muntah, gangguan intestinal, peningkatan laju metabolisme/ kebutuhan nutrisi
Tujuan             :   Mempertahankan berat badan atau memperlihatkan peningkatan berat badan yang mengacu pada tujuan yang diinginkan.
Kriteria Hasil  :   Mendemonstrasikan keseimbangan nitrogen positif, bebas dari tanda-tanda malnutrisi dan menunjukkan perbaikan tingkat energi.
Intervensi        :  
Mandiri
1.        Kaji kemampuan untuk mengunyah, merasakan dan menelan.
Rasional   :   Lesi mulut, tenggorok dan esophagus dapat menyebabkan disfagia, penurunan kemampuan pasien untuk mengolah makanan dan mengurangi keinginan untuk makan.
2.        Timbang berat badan sesuai kebutuhan.
Rasional   :   Indikator kebutuhan nutrisi/ pemasukan yang adekuat.
3.        Hilangkan rangsang lingkungan yang berbahaya atau kondisi yang memperburuk.
Rasional   :   Mengurangi stimulus pusat muntah di medulla.
4.        Berikan perawatan mulut yang terus menerus.
Rasional   :   Mulut yang bersih akan meningkatkan nafsu makan.
5.        Rencanakan diet dengan pasien/ orang terdekat.
Rasional   :   Melibatkan pasien dalam rencana meningkatkan pemasukan kebutuhan akan makanan.
6.        Batasi makanan yang menyebabkan mual/ muntah.
Rasioanal  :   Tindakan ini mungkin akan berguna dalam meningkatkan pemasukan makanan.
7.        Batasi pemasukan cairan dengan makanan, kecuali jika cairan memiliki nilai gizi.
Rasional   :   Lambung yang penuh akan mengurangi nafsu makan dan pemasukan makanan.
8.        Dorong aktifitas fisik sebanyak mungkin.
Rasional   :   Dapat meningkatkan nafsu makan dan perasaan sehat.
9.        Berikan fase istirahat sebelum makan.
Rasional   :   Meningkatkan ketersediaan energi untuk aktifitas makan.
10.    Catat pemasukan kalori.
Rasional   :   Mengidentifikasi kebutuhan terhadap suplemen atau alternative metode pemberian makanan.
11.    Tinjau ulang pemeriksaan laboratorium.
Rasional   :   Mengindikasikan status nutrisi dan fungsi organ dan mengidentifikasi kebutuhan pengganti.
12.    Konsultasikan dengan tim pendukung ahli diet/ gizi.
Rasional   :   Menyediakan diet berdasarkan kebutuhan individu dengan rute yang tepat.
13.    Berikan obat-obatan sesuai petunjuk: antiemetik.
Rasional   :   Mengurangi insiden muntah, meningkatkan fungsi gaster.

f.       Nyeri akut/ kronis berhubungan dengan inflamasi/ kerusakan jaringan: infeksi, lesi kutaneus internal/ eksternal, ekskoriasi rectal, penularan nekrosis, neuropati perifer, mialgia dan antralgia, kejang abdomen
Tujuan             :   Keluhan hilangnya/ terkontrol rasa sakit.
Kriteria Hasil  :   Menunjukkan posisi/ ekspresi wajah rileks.
                            Dapat tidur/ beristirahat adekuat.
Intervensi        :  
Mandiri
1.        Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala1-10), frekuensi dan waktu.
Rasional   :   Mengindikasikan kebutuhan untuk intervensi dan juga tanda-tanda perkembangan/ resolusi komplikasi.
2.        Pertahankan/ instruksikan dalam hygiene kulit.
Rasional   :   Mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi.
3.        Dorong untuk ambulasi/ turun dari tempat tidur jika memungkinkan.
Rasional   :   Menurunkan tekanan pada kulit dari istirahat lama di tempat tidur.
4.        Gunting kuku secara teratur.
Rasional   :   Kuku yang panjang/ kasar meningkatkan resiko kerusakan dermal.

5.        Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril.
Rasional   :   Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.
6.        Berikan matras atau tempat tidur busa/ flotasi.
Rasional   :   Menurunkan iskemia jaringan, mengurangi tekanan pada kulit, jaringan dan lesi.
7.        Gunakan/ berikan obat-obatan topikal/ sistemik sesuai indikasi.
Rasional   :   Digunakan pada perawatan lesi kulit, untuk menghindari kontaminasi silang.
8.        Lindungi lesi atau ulkus dengan balutan basah atau salep antibiotik dan balutan nonstick.
Rasional   :   Melindungi area ulserasi dari kontaminasi dan meningkatkan penyembuhan.

g.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan tingkat aktifitas, perubahan sensasi, malnutrisi, perubahan status metabolisme.
Tujuan             :   Menunjukkan tingkah laku/ teknik untuk mencegah kerusakan kulit/ meningkatkan kesembuhan.
Kriteria Hasil  :   Menunjukkan kemajuan pada luka/ penyembuhan lesi.
Intervensi        :
Mandiri
1.        Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor, sirkulasi dan sensasi.
Rasional   :   Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
2.        Pertahankan/ instruksikan dalam hygiene kulit.
Rasional   :   Mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barrier infeksi.
3.        Dorong untuk ambulasi/ turun dari tempat tidur jika memungkinkan.
Rasional   :   Menurunkan tekanan pada kulit dari istirahat lama di tempat tidur.
4.        Gunting kuku secara teratur.
Rasional   :   Kuku yang panjang/ kasar meningkatkan resiko kerusakan dermal.
5.        Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier protektif.
Rasional   :   Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.



Kolaborasi
6.        Berikan matras/ tampat tidur busa/ flotasi.
Rasional   :   menurunkan iskemia jaringan, mengurangi tekanan pada jaringan kulit, jaringan dan lesi.
7.        Gunakan/ berikan obat-obatan topikal/ sistemik sesuai indikasi.
Rasional   :   Digunakan pada perawatan lesi kulit, untuk menghindari kontaminasi silang.
8.        Lindungi lesi atau ulkus dengan balutan basah atau salep antibiotik dan balutan nonstick.
Rasional   :   Melindungi area ulserasi dari kontaminasi dan meningkatkan penyembuhan.

h.      Perubahan membran mukosa oral berhubungan dengan defisit imunologis, kesehatan oral tidak efektif, efek samping dari obat-obatan, kemoterapi.
Tujuan             :   Menunjukkan membran mukosa utuh, berwarna merah jambu, basah dan babas dari inflamasi/ ulserasi.
Kriteria Hasil  :   Menunjukkan teknik memperbaiki/ mempertahankan keutuhan mukosa oral.
Intervensi        :
Mandiri
1.      Kaji membran mukosa/ catat seluruh lesi oral. Perhatikan keluhan nyeri, bengkak, sulit mengunyah/ menelan.
Rasional    :   Edema, lesi, membran mukosa oral dan tenggorok kering menyebabkan rasa sakit dan sulit mengunyah./ menelan.
2.      Berikan perawatan oral setiap hari dan setelah makan.
Rasional    :   Mengurangi rasa tidak nyaman.
3.      Rencanakan diet untuk menghindari garam, pedas, gesekan dan makanan/ minuman asam.
Rasional    :   Makanan yang pedas akan membuka lesi yang telah disembuhkan.
4.      Dorong pemasukan oral sedikitnya 2500 ml/ hari.
Rasional    :   Mempertahankan hidrasi, mencegah pengeringan rongga mulut.
5.      Dorong pasien untuk tidak merokok.
Rasional    :   Rokok akan mengeringkan dan mengiritasi membran mukosa.
6.      Dapatkan spesimen kultur lesi.
Rasional    :   Menunjukkan agen penyebab dan mengidentifikasi terapi yang sesuai.
7.      Rujuk untuk konsultasi gigi, jika diperlukan.
Rasional    :   Mungkin membutuhkan terapi tambahan untuk mencegah kehilangan gigi.

i.        Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi matabolisme, peningkatan kebutuhan energi, perubahan kimia tubuh, efek samping obat-obatan, kemoterapi.
Tujuan             :   Melaporkan peningkatan energi.
Kriteria Hasil  :   Berpartisipasi dalam aktifitas yang diinginkan pada tingkat kemampuannya.
Intervensi        :
Mandiri
1.        Kaji pola tidur dan catat perubahan dalam proses berfikir/ prilaku.
Rasional   :   Berbagai faktor dapat meningkatkan kelelahan, termasuk kurang tidur.
2.        Rencanakan perawatan untuk menyediakan fase istirahat.
Rasional   :   Periode istirahat yang sering sangat dibutuhkan dalam memperbaiki/ menghemat energi.
3.        Dorong pasien untuk melakukan apapun yang mungkin.
Rasional   :   Memungkinkan penghematan energi, peningkatan stamina.

4.        Pantau respon psikologis terhadap aktifitas.
Rasional   :   Toleransi bervariasi tergantung pada status proses penyakit, status nutrisi, keseimbangan cairan dan jumlah/ tipe penyakit.
5.        Dorong pemasukan nutrisi.
Rasional   :   Pemasukan/ penggunaan nutrisi adekuat sangat penting bagi kebutuhan energi untuk aktifitas.
Kolaborasi
6.        Berikan O2 tambahan sesuai petunjuk.
Rasional   :   Adanya anemia/ hipoksemia mengurangi persediaan O2 untuk ambilan seluler dan menunjang kelelahan.
7.        Rujuk pada terapi fisik/ okupasi.
Rasional   :   Latihan setiap hari terprogram dan aktifitas yang membantu pasien mempertahankan/ meningkatkan kekuatan dan tonus otot.

j.        Perubahan proses pikir berhubungan dengan hipoksemia, infeksi SSP oleh HIV, malignansi otak, infeksi oportunistik sistemik diseminata.
Tujuan             :   Mempertahankan orientasi realita umum dan fungsi kognitif optimal.
Kriteria Hasil  :   Tidak menunjukkan adanya gangguan disorientasi, disonansi kognitif.
Intervensi        :
Mandiri
1.        Kaji status mental dan neurologis.
Rasional   :   Menetapkan tingkat fungsional pada waktu penerimaan dan perubahan status yang dapat dihubungkan dengan infeksi.
2.        Pertimbangkan efek dari tekanan emosional.
Rasional   :   Dapat menunjang penurunan kewaspadaan, kekacauan mental, menarik diri, hipoaktifitas dan kebutuhan lanjut akan evaluasi dan intervensi.
3.        Pantau adanya tanda-tanda infeksi SSP.
Rasional   :   Gejala SSP dihubungkan dengan meningitis/ ensefalitis diseminata.
4.        Pertahankan lingkungan yang menyenagkan.
Rasional   :   Memberikan rangsang lingkungan normal akan membantu dalam mempertahankan orientasi realitas.
5.        Berikan isyarat untuk reorientasi.
Rasional   :   Reorientasi sering terhadap tempat dan waktu
6.        Dorong keluarga/ orang terdekat untuk bersosialisasi.
Rasional   :   Hubungan yang biasa seringkali akan berguna dalam membantu mempertahankan orientasi realita, terutama jika pasien mengelami halusinasi.
7.        Dorong pasien melakukan kegiatan sebanyak mungkin.
Rasional   :   Membantu mempertahankan kemampuan mental untuk periode yang lebih panjang.
8.        Kurangi kebisingan, terutama pada malam hari.
Rasional   :   Meningkatkan waktu tidur, mengurangi gejala kognitif dan kurang tidur.
9.        Susun batasan pada perilaku maladaptif/ menyiksa.
Rasional   :   Memberikan rasa aman/ stabil.
10.    Berikan informasi mengenai perawatan secara terus menerus.
Rasional   :   Dapat menurunkan ansietas dan ketakutan tentang ketidaktahuan.
Kolaborasi
11.    Berikan obat-obatan sesuai petunjuk
Rasional   :   Meningkatkan fungsi neurologis dan mental.
12.    Rujuk pada konseling sesuai petunjuk.
Rasional   :   Dapat membantu pasien meningkatkan kontrol terhadap timbulnya gangguan berpikir atau simtomatologi psikotik.

k.      Ansietas/ ketakutan berhubungan dengan ancaman pada konsep pribadi, ancaman kematian, fungsi peran, pemisahan dari sistem pendukung, ketakutan akan penularan penyakit pada keluarga/ yang dicintai.
Tujuan             :   Menyatakan kesadaran tentang perasaan dan cara sehat untuk menghadapinya.
Kriteria Hasil  :   Menunjukkan rentang normal dan perasaan dan berkurangnya rasa takut/ ansietas.
                            Menunjukkan kemampuan untuk mengatasi masalah.
                            Menggunakan sumber-sumber dengan efektif.
Intervensi        :
Mandiri
1.        Pertahankan hubungan yang sering dengan pasien.
Rasional   :   Menjamin bahwa pasien tidak akan sendiri atau ditelantarkan.
2.        Berikan informasi akurat dan konsisten mengenai prognosis.
Rasional   :   Dapat mengurangi ansietas dan ketidakmampuan pasien untuk membuat keputusan/ pilihan berdasrkan realita.
3.        Waspada terhadap tanda-tanda penolakan/ depresi.
Rasional   :   Rasa bersalah dan tekanan spiritual mungkin akan menyebabkan pasien menarik diri dan percaya bahwa bunuh diri adalah suatu alternatif.
4.        Berikan lingkungan terbuka dimana pasien akan merasa aman untuk mendiskusikan perasaan.
Rasional   :   Membantu pasien untuk merasa diterima pada kondisi sekarang tanpa perasaan dihakimi dan meningkatkan perasaan harga diri dan kontrol.
5.        Izinkan paien untuk mengekspresikan rasa marah, takut, putus asa tanpa konfrontasi.
Rasional   :   Penerimaan perasaan akan membuat pasien dapat menerima situasi.
6.        Jelaskan prosedur, berikan kesempatan untuk bertanya dan jawab dengan jujur.
Rasional   :   Informasi yang akurat akan membuat pasien dapat lebih efektif dalam menghadapi realita situasi, sehingga dapat mengurangi ansietas dan rasa takut akan ketidaktahuan.
7.        Identifikasi dan dorong interaksi pasien dengan sistem pendukung.
Rasional   :   Mengurangi perasaan terisolasi.
8.        Berikan informasi yang dapat dipercaya dan konsisten.
Rasional   :   Menciptakan interaksi interpersonal yang lebih baik dan menurunkan ansietas dan rasa takut.
9.        Libatkan orang terdekat sesuai petunjuk pada pengambilan keputusan.
Rasional   :   Menjamin adanya sistem pendukung bagi pasien, dan memberikan kesempatan orang terdekat untuk berpartisipasi dalam kehidupan pasien.
Kolaborasi
10.    Rujuk pada konseling psikkiatri.
Rasional   :   Mungkin diperlukan bantuan lebih lanjut dalam berhadapan dengan diagnosa/ prognosis, terutama jika timbul pikiran untuk bunuh diri.

l.        Isolasi sosial berhubungan dengan perubahan status kesehatan, perubahan penampilan fisik, perubahan status mental, persepsi tentang tidak dapat diterima dalam masyarakat, isolasi fisik.
Tujuan             :   Menunjukkan peningkatan perasaan harga diri.
Kriteria Hasil  :   Berpartisipasi dalam aktifitas/ program pada tingkat kemampuan/ hasrat.
Intervensi        :
Mandiri
1.      Lakukan persepsi tentang situasi.
Rasional   :   Isolasi sebagian dapat mempengaruhi diri saat pasien takut penolakan/ reaksi orang lain.
2.      Berikan waktu berbicara untuk pasien.
Rasional   :   Pasien mungkin akan mengalami isolasi fisik.
3.      Batasi/ hindari penggunaan masker, baju dan sarung tangan jika memungkinkan.
Rasional   :   Mengurangi perasaan pasien akan isolasi fisik dan menciptakan hubungan sosial yang positif, yang dapat meningkatkan rasa percaya diri.
4.      Identifikasi sistem pendukung yang tersedia bagi pasien.
Rasional   :   Jika pasien mendapat bantuan dari orang terdekat, perasaan kesepian dan ditolak akan berkurang.
5.      Dorong adanya hubungan yang aktif dengan orang terdekat.
Rasional   :   Membantu memantapkan partisipasi pada hubungan sosial.
6.      Kembangkan perencanaan tindakan dengan pasien.
Rasional   :   Dapat meningkatkan kontrol terhadap kehidupan sendiri.
7.      Waspadai gejala-gejala verbal/ nonverbal.
Rasional   :   Indikasi bahwa putus asa dan ide untuk bunuh diri sering muncul.
Kolaborasi
8.      Rujuk pada sumber-sumber, mis: pelayanan sosial, konselor, dan organisasi/ proyek AIDS.
Rasional   :   Adanya sistem pendukung dapat mengurangi perasaan terisolasi.

m.    Ketidakberdayaan berhubungan dengan konfirmasi diagnosa sakit terminal, proses berduka yang belum selesai,  perubahan pada bentuk tubuh.
Tujuan             :   Mengungkapkan rasa kontrol terhadap situasi sekarang.
Kriteria Hasil  :   Menyatakan perasaan dan cara yang sehat untuk berhubungan dengan mereka.
                            Membuat keputusan yang berhubungan dengan perawatan dan ikut serta dalam perawatan diri.
Intervensi        :
Mandiri
1.        Kaji tingkat perasaan tidak berdaya.
Rasional   :   Menentukan status individu pasien dan untuk menentukan intervensi yang sesuai.
2.        Dorong peran aktif pada perencanaan aktifitas.
Rasional   :   Memungkinkan peningkatan perasaan kontrol dan menghargai diri sendiri dan tanggung jawab.
3.        Dorong harapan hidup dan kekuatan bertahan lama.
Rasional   :   Agar pasien mampu untuk membuat keputusan tanpa menghargai kehilangan kemandirian pasien.

n.      Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kesalahan interpretasi informasi, keterbatasan kognitif, tidak mengenal sumber informasi.
Tujuan             :   Mengungkapkan pemahamannya tentang kondisi/ proses dan perawatan dari penyakit tersebut.
Kriteria Hasil  :   Mengindentifikasi hubungan antara tanda-tanda/ gejala-gejala pada proses penyakit dan hubungan gejala-gejala dengan faktor penyebab.
                            Dengan tepat menunjukkan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan suatu tindakan.
                            Memulai perubahan gaya hidup yang perlu dan ikut serta dalam aturan perawatan.
Intervensi        :
Mandiri
1.      Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan.
Rasional   :   Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi.
2.      Tentukan tingkat ketergantungan dan kondisi fisik.
Rasional   :   Membantu merencanakan jumlah perawatan dan kebutuhan penatalaksanaan gejala dan juga kebutuhan akan sumber tambahan.
3.      Tinjau ulang cara penularan penyakit.
Rasional   :   Mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi, meningkatkan keamanan bagi pasien/ orang lain.
4.      Instruksikan pasien dan pemberi perawatan mengenai kontrol infeksi.
Rasional   :   Mengurangi penularan penyakit, meningkatkan kesehatan pada masa berkurangnya kemampuan sistem imun untuk mengontrol tingkat flora.
5.      Tekankan perlunya kebutuhan perawatan kulit harian.
Rasional   :   Kulit yang sehat memberikan barrier terhadap infeksi.
6.      Pastikan pasien/ orang terdekat dapat menunjukkan parawatan oral dan gigi yang baik.
Rasional   :   Mukosa oral dengan cepat menunjukkan komplikasi hebat dan progresif.
7.      Tinjau ulang kebutuhan akan diet.
Rasional   :   Meningkatkan nutrisi adekuat yang diperlukan untuk penyembuhan dan mendukung sistem imun.
8.      Diskusikan aturan obat-obatan, interaksi dan efek samping.
Rasional   :   Meningkatkan kerja sama.
9.      Berikan informasi mengenai penatalaksanaan gejala yang melengkapi aturan medis.
Rasional   :   Memberi pasien peningkatkan kontrol, mengurangi resiko rasa malu dan meningkatkan kenyamanan.
10.  Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi.
Rasional   :   Memberi kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan perubahan/ individual.
11.  Identifikasi sumber-sumber komunitas.
Rasional   :   Memudahkan pemindahan dari lingkungan perawatan akut, mendukung pemulihan dan kemandirian.
(Marilynn E. Doengoes, 2000 ; 838-858)

4.        Pelaksanaan
Pelaksanaan tindakan perawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik (Iyer, et.al, 1996; dikutip dari Nursalam, 2001; 53)
Tahap ini merupakan tahap keempat dalam proses keperawatan, oleh karena itu pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan dirumuskan dan mengacu pada rencana tindakan sesuai skala sangat urgen, urgen dan tidak urgen (non urgen).
Dalam pelaksanaan tindakan ada tiga tahapan yang harus dilalui yaitu: persiapan, perencanaan dan pendokumentasian. (Griffith, 1986; dikutip dari Nursalam, 2001; 53).
a.    Fase Persiapan meliputi :
1)   Review antisipasi tindakan keperawatan
2)   Menganalisa pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan
3)   Mengetahui komplikasi yang mungkin timbul
4)   Persiapan alat (resources)
5)   Persiapan lingkungan yang kondusif
6)   Mengidentifikasi aspek hukum dan etik
b.    Fase Intervensi terdiri atas :
1)   Independen : tindakan yang dilakukan oleh perawat tanpa petunjuk atau perintah dokter atau tim kesehatan lainnya.
2)   Interdependen : tindakan perawat yang memerlukan kerjasama dengan kesehatan lainnya (gizi, dokter, laboratorium dan lain-lain).
3)   Dependen : berhubungan dengan tindakan medis atau menandakan dimana tindakan medis dilakukan.
c.    Fase Dokumentasi
Merupakan suatu catatan lengkap dan akurat dari tindakan yang telah dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan tindakan asuhan keperawatan pada klien dengan AIDS, perawat dapat berperan sebagai pelaksana keperawatan, pemberi support, pendidik, advokasi, konselor dan pencatat/ penghimpun data.
5.        Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan yang digunakan sebagai alat untuk menilai keberhasilan dari asuhan keperawatan dan proses ini berlangsung terus menerus yang diarahkan pada pencapaian tujuan yang diinginkan.
Ada empat yang dapat terjadi pada tahap evaluasi, yaitu :
a.       Masalah teratasi seluruhnya.
b.      Masalah teratasi sebagian.
c.       Masalah tidak teratasi.
d.      Timbul masalah baru.
Evaluasi adalah salah satu yang direncanakan dan perbandingan yang sistematis pada status kesehatan klien (Griffith, et. al, 1986; dikutip dari Nursalam, 2001; 71).
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. (Ignatavicius dan Bayne, 1994; dikutip dari Nursalam, 2001; 71).
Tujuan evaluasi adalah untuk mendapatkan umpan balik rencana keperawatan, nilai serta meningkatkan mutu asuhan keperawatan melalui hasil perbandingan melalui standar yang telah ditentukan sebelumnya.

Dalam hal ini penilaian yang diharapkan pada klien dengan AIDS adalah:
a.       Infeksi dapat dicegah.
b.      Komplikasi dapat dihindari/ dikurangi.
c.       Rasa sakit/ tidak nyaman dikurangi.
d.      Pasien dapat berhadapan dengan situasi sekarang secara realistis.
e.       Diagnosis, prognosis, dan pengobatan dapat dipahami.
(Marilynn E. Doengoes, ­­­2000 ; 837)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar