Paytren

paytren8.com

Sabtu, 25 Desember 2010

Asuhan Keperawatan Pneumonia

A. Pengertian
Pneumonia adalah proses inflamasi dimana gas alveolar dipindah oleh materi seluler, penyebab dapat virus, bakteri, jamur protozoa atau riketsia, hipersensitifitas dapat menyebabkan adanya penyakit primer. Pneumonia juga dapat disebabkan oleh aspirasi  ( Hudak & Gallo, 1997 )
Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing ( Ngastiyah, 2005 ).
Pneumonia adalah inflamasi parenkim paru, biasanya berhubungan pengisian alveoli dengan cairan ( Doengoes, 1999 ).
Pneumonia adalah suatu peradangan parenkim paru dengan eksudasi dan konsolidasi, disebabkan oleh mikroorganisme ( Suparman, 1990 )

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pneumonia adalah peradangan pada parenkim paru dengan eksudasi dan konsolidasi yang disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, aspirasi.

B. Patofisiologi
Pneumonia dapat terjadi sebagai akibat inhalasi mikroba yang ada di udara, aspirasi organisme dari nasofaring atau penyebaran hematogen dari fokus infeksi yang jauh. Pemakaian antibiotik yang luas terhadap kuman gram positif menyebabkan kuman gram negatif lebih menonjol dalam etiologi pneumonia. Pemakaian antibiotik dengan spektrum luas menyebabkan pertumbuhan kuman yang lebih resisten. Infeksi kuman gram negatif sering didapat di rumah sakit sebagai akibat kontaminasi denagn alat bantu pernafasan yang tercemar, kateter penghisap lendir, nebulizer, krem dan jeli yang dipakai di tempat trakeostomy.

Bakteri yang masuk ke paru melalui saluran nafas, masuk ke bronkheoli dan alveoli, menimbulkan reaksi peradangan hebat dan menghasilkan cairan edema yang kaya protein dalam alveoli dan jaringan interstitial. Kuman pneumococcus dapat meluas melalui porus kohn dari alveoli ke alveoli ke seluruh segmen / lobus. Timbulnya hepatisasi merah adalah akibat perembesan eritrosit dan beberapa leukosit dari kapiler paru-paru. Alveoli dan septa menjadi penuh dengan cairan edema yang berisi eritrosit dan fibrin serta relatif sedikit leukosit sehingga kapiler alveoli menjadi melebar. Paru menjadi tidak berisi udara lagi, kenyal dan berwarna merah. Pada tingkat lebih lanjut, aliran darah menurun, alveoli penuh dengan leukosit dan relatif sedikit eritrosit. Kuman pneumococcus difagositosis oleh leukosit dan sewaktu resolusi berlangsung, makrofag masuk ke dalam alveoli dan menelan leukosit bersama kuman pneumococcus di dalamnya. Paru masuk ke dalam tahap hepatisasi abu-abu dan tampak berwarna abu-abu kekuningan. Secara perlahan-lahan sel darah merah yang mati dan eksudat fibrin dibuang dari alveoli. Terjadi resolusi sempurna, paru menjadi normal kembali tanpa kehilangan kemampuan dalam pertukaran gas. Tidak terjadinya pneumonia pada orang normal yang sehat adalah akibat adanya mekanisme pertahanan yang meliputi refleks glotis dan batuk, lapisan mukus dan gerakan silia yang mengeluarkan organisme yang melekat pada lapisan mukus tersebut, dan skresi humoral setempat. Sel-sel yang melapisi saluran trakheobronkial menghasilkan zat kimia yang mempunyai sifat antimikroba yang tidak spesifik, yaitu :
1. Lisosim, suatu enzim yang meghancurkan bakteri terutama kalau ada komplemen.
2. Laktoferin, suatu ikatan besi dengan glikoprotein yang mempunyai sifat bakteriostatik.
3. Interferon, suatu protein dengan berat molekul rendah dengan aktifitas antifirus.

Pada sebagian penderita yang dirawat di rumah sakit, pertahanan  oral dapat rusak dan biakan farinks menjadi positif terhadap kuman gram negatif. Terjadi aspirasi kuman yang dipermudah dengan pemakaian alat bantu pernafasan / tindakan dan kuman yang teraspirasi akan dibersihkan / dibunuh oleh mekanisme pertahanan antibakteri paru. Kalau pertahanan antibakteri tidak mampu mengatasi aspirasi bakteri maka terjadi pengembangbiakan lokal bakteri dan terjadilah peumonia.

Beberapa keadaan umum yang dapat mengganggu mekanisme pertahanan tersebut, sehingga timbul infeksi paru, misalnya kesadaran menurun, geriatri, trakeostomy, pipa endotrakeal, nyeri akibat operasi terutama setelah operasi abdomen atau trauma pada dada / abdomen, penyakit neuromuskuler, deformitas pada dada, PPOM, bronkiektasis, DM  penyakit payah jantung, pemakaian kortikosteroid dan obat imunosupresif..

Akibat kondisi ini akan menimbulkan gejala seperti demam tinggi, batuk produktif yang sering, sputum berwarna merah seperti karat ( streptococcus pneumonia ), merah muda ( stapilococcus aureus ), kehijauan dan bau khas, ronchii, sakit kepala dan nyeri abdomen.

C. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada klien pneumonia menurut Ngastiyah ( 2005 ) adalah sebagai berikut :
1. Penatalaksanaan Medis
a). Penisilline 50.000 u/Kg BB/hari ditambah dengan kloramfenikol 50 – 70           mg/Kg BB/hari atau diberikan antibiotik yang mempunyai spektrum luas seperti ampicilline. Pengobatan ini diteruskan sampai bebas demam 4 – 5 hari.
b). Pemberian O2.
c). Pemberian cairan intravena, biasanya diperlukan campiran glukosa 5% dan NaCl 0,9% dalam perbandingan 3 : 1 ditambah larutan KCL 10 mEq / 500 ml / botol infus.
d). Karena sebagian besar klien jatuh ke dalam asidosis metabolik akibat kurang nutrisi dan hipoksia, maka diberikan koreksi dengan hasil AGD arteri.
e). Klien pneumonia ringan tidak perlu dirawat di rumah sakit.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a). Kaji adanya distres pernafasan dengan memantau tanda-tanda vital dan status pernafasan.
b). Tingkatkan oksigenasi yang adekuat dan pola nafas normal.
c). Rekomendasikan vaksin pneumococcus untuk anak usia 2 tahun dan anak yang lebih besar yang berisiko terhadap pneumonia.
d). Berikan penyuluhan kesehatan pada anak dan keluarga.

E. Pengkajian
Pengkajian pada klien pneumonia menurut Doengoes ( 1999 ) adalah sebagai beikut :
1. Aktifitas / Istirahat
Gejala             : Kelemahan, kelelahan, insomnia.
Tanda  : Letargi, penurunan toleransi terhadap aktifitas.
2. Sirkulasi
Gejala : Riwayat adanya GKJ kronis.
Tanda  : Tachikardi, penampilan kemerahan atau pucat.
3. Integritas ego
Gejala : Banyaknya stresor, masalah finansial.
4. Makanan / Cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual / muntah, riwayat DM.
Tanda  : Distensi abdomen, hiperaktif bunyi usus, kulit kering dengan turgor buruk, penampilan kakeksia ( malnutrisi ).
5. Neurosensori
Gejala : Sakit kepala daerah frontal ( influenza ).
Tanda  : Perubahan mental ( bingung, samnolen ).
6. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala, nyeri dada ( pleuritik ), meningkat oleh batuk ; nyeri dada substernal (influenza ), mialgia, artralgia.
Tanda  : Melindungi area yang sakit ( klien umumnya tidur pada sisi yang sakit untuk membatasi gerakan ).
7. Pernafasan
Gejala : Riwayat adanya ISK kronis, PPOM, merokok sigaret, tacipnea, dispnea progesif, pernafasan dangkal, penggunaan otot aksesori, pelebaran nasal.
Tanda  : Sputum : ( merah muda, berkarat, purulen ), perkusi : pekak di atas area yang konsolidasi, fremitus : taktil dan vokal bertahap meningkat dengan konsolidasi, gesekan friksi pleural, bunyi nafas : menurun atau tidak ada di atas area yang terlibat atau nafas bronchial, warna : pucat / sianosis bibir dan kuku.
8. Keamanan
Gejala : Riwayat gangguan sistem imun misal SLE, AIDS, penggunaan steroid atau kemoterapi, institusionalisasi, ketidakmampuan umum, demam.
Tanda  : Berkeringat, menggigil berulang, gemetar, kemerahan mungkin ada pada kasus rubela atau varisela.
9. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : Riwayat mengalami pembedahan, penggunaan alkohol kronis

Pemeriksaan diagnostik
1. Sinar X : Mengidentifikasi distribusi struktural ( lobar, bronkial ), dapat juga menyatakan abses luas / infiltrat, empiema ( stapilococcus ), infiltrasi menyebar atau terlokalisasi ( bakterial ), penyebaran / perluasan infiltrat nodul ( lebih sering virus ), pada pneumonia mikropalsma, sinar X dada mungkin bersih.
2. GDA / nadi oksimetri : tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat dan penyakit paru yang ada.
3. Pemeriksaan gram / kultur sputum dan darah : Dapat diambil dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakeal, bronkoskopi fiberotik, biopsi pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab.
4. JDL : leukositosis biasanya ada, meskipun sel darah putih rendah terjadi pada infeksi virus, kondisi tekanan imun seperti AIDS, memungkinkan berkembangnya pneumonia bakterial.
5. Pemeriksaan serologi ( titer virus / legionella, aglutinin dingin ) : Membantu dalam membedakan diagnosis organisme khusus.
6. LED : Meningkat.
7. Elektrolit : Natrium dan klorida mungkin rendah.
8. Pemeriksaan fungsi paru : Volume mungkin menurun ( kongesti dan kolaps alveolar ), tekanan jalan nafas mungkin meningkat dan komplain menurun, mungkin terjadi perembesan ( hipoksemia ).
9. Bilirubin : Mungkin meningkat.
10. Aspirasi perkutan / biopsi jaringan terbuka : Dapat menyatakan intranuklear tipikal dan keterlibatan sitoplasmik ( CMV ), karakteristik sel raksasa ( rubela ).

F. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada klien pneumonia menurut Doengoes ( 1999 ) dan Hudak & Gallo ( 1997 ) adalah sebagai beikut :
1. Takefektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan inflamasi trakeabronkial, pembentukan edema, peningkatan produksi sputum, nyeri pleuritik, penurunan energi, kelemahan.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar-kapiler    ( efek inflamasi ), gangguan kapasitas pembawa oksigen darah ( demam, perpindahan kurva oksihemoglobin ), gangguan pengiriman oksigen ( hipoventilasi ).
3. Risiko tinggi terhadap penyebaran infeksi  berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan utama ( penurunan kerja silia, perlengketan sekret pernafasan ), tidak adekuat pertahanan sekunder ( adanya infeksi, penekanan imun ), penyakit kronis, malnutrisi.
4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, kelemahan umum.
5. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi parenkim paru, reaksi seluler terhadap sirkuasi toksin, batuk menetap.
6. Risiko terhadap nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi, anoreksia, distensi abdomen.
7. Risiko terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebihan ( demam, berkeringat banyak, nafas mulut / hiperventilasi, muntah ), penurunan masukan oral.
8. Kurang pengetahuan ( kebutuhan belajar, mengenai kondisi dan kebutuhan tindakan ) berhubungan dengan kurang terpajan, kesalahan intrepretasi, kurang mengingat.

G. Perencanaan
Setelah diagnosa keperawatan ditemukan, maka perencanaan pada klien pneumonia menurut Doengoes ( 1999 ) dan Hudak & Gallo ( 1997 )  adalah sebagai beikut :
1. Takefektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan inflamasi trakeabronkial, pembentukan edema, peningkatan produksi sputum, nyeri pleuritik, penurunan energi, kelemahan.
Tujuan : Mengidentifikasi / menunjukkan perilaku mencapai bersihan jalan nafas
Kriteria hasil : Menunjukkan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih, tidak ada dispea, sianosis.
Rencana tindakan : a). Kaji frekuensi / kedalaman pernafasan dan gerakan dada           b). Auskultasi area paru, catat area penurunan / tidak ada aliran udara dan bunyi nafas adventisius  c). Bantu klien latihan nafas sering d). Penghisapan sesuai indikasi            e). Berikan cairan sedikitnya 2500 ml / hari, tawarkan air hangat, daripada dingin              f). Berikan obat sesuai indikasi : mukolitik, ekspektoran, bronkodilator, analgetik           g). Berikan cairan tambahan : IV, oksigen humidifikasi  h). Bantu bronkoskopi / torasentesis bila diindikasikan.

2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar-kapiler ( efek inflamasi ), gangguan kapasitas pembawa oksigen darah ( demam, perpindahan kurva oksihemoglobin ), gangguan pengiriman oksigen ( hipoventilasi ).
Tujuan : Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam batas rentang normal dan tak ada gejala distres pernafasan.
Kriteria hasil : Berpartisipasi dalam tindakan untuk memaksimalkan oksigenisasi.
Rencana tindakan : a). Kaji frekuensi / kedalaman dan kemudahan bernafas                b). Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku, catat adanya sianosis  c). Kaji status mental dan tingkat ansietas d). Awasi frekuensi jantung dan suhu tubuh               e). Pertahankan istrahat tidur  f). Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi, nafas dalam dan batuk efektif   g). Berikan oksigen dengan benar sesuai indikasi.

3. Risiko tinggi terhadap penyebaran infeksi  berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan utama ( penurunan kerja silia, perlengketan sekret pernafasan ), tidak adekuat pertahanan sekunder ( adanya infeksi, penekanan imun ), penyakit kronis, malnutrisi.
Tujuan : Mencapai waktu perbaikan infeksi berulang tanpa komplikasi.
Kriteria hasil : Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah / menurunkan risiko infeksi.
Rencana tindakan : a). Pantau tanda vital dengan ketat  b). Anjurkan klien untuk memperhatikan pengeluaran sekret dan melaporkan perubahan warna, jumlah dan bau  c). Tunjukkan / dorong tekhnik mencuci tangan yang baik  d). Ubah posisi dengan sering dan berikan pembuangan paru yang baik  e). Batasi pengunjung sesuai indikasi f). Lakukan isolasi pencegahan sesusai individual  g). Dorong keseimbangan istirahat adekuat dengan aktifitas yang sedang, tingkatkan masukan nutrisi adekuat  h). Selidiki perubahan tiba-tiba / penyimpangan kondisi seperti peningkatan nyeri dada, bunyi jantung ekstra  i). Berikan antimikrobial sesuai indikasi hasil kultur sputum / darah.

4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbanagn antara suplai dan kebutuhan oksigen, kelemahan umum.
Tujuan : Melaporkan / menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktifitas.
Kriteria hasil : Tidak ada dipsnea, kelemahan berlebihan dan tanda-tanda vital dalam rentang normal.
Rencana tindakan : a). Evaluasi respon klien terhadap aktifitas  b). Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi                    c). Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktifitas dan istirahat  d). Bantu klien memilih posisi nyaman utuk istirahat / tidur  e). Bantu aktifitas perawatan diri yang diperlukan.

5. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi parenkim paru, reaksi seluler terhadap sirkulasi toksin, batuk menetap.
Tujuan : Menyatakan nyeri hilang / terkontrol
Kriteria hasil : Menunjukkan rileks, istirahat / tidur, dan peningkatan aktifitas dengan tepat.
Rencana tindakan : a). Tentukan karakteristik nyeri  b). Pantau tanda-tanda vital             c). Berikan tindakan nyaman misal pijatan punggung  d). Tawarkan pembersihan mulut dengan sering  e). Berikan analgesik dan antitusif sesuai indikasi.

6. Risiko terhadap nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi, anoreksia, distensi abdomen.
Tujuan : Menunjukkan peningkatan nafsu makan.
Kriteria hasil : Mempertahankan / meningkatkan berat badan.
Rencana tindakan : a). Identifikasi faktor yang menimbulkan mual / muntah, misal sputum banyak  b). Berikan wadah tertutup untuk sputum da buang sesering mungkin, berikan / bantu kebersihan mulut setelah muntah  c). Jadwalkan pengobatan pernafasan sedikitnya 1 jam sebelum makan  d). Auskultasi bunyi usus, observasi / palpasi dietensi abdomen  e). Berikan makan porsi kecil dan sering termasuk makanan kering   f). Evaluasi status nutrisi umum, ukur berat badan dasar.

7. Risiko terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebihan ( demam, berkeringat banyak, nafas mulut / hiperventilasi, muntah ),  penurunan masukan oral.
Tujuan : Menunjukkan keseimbangan cairan dibuktikan dengan parametar individual yang tepat.
Kriteria hasil : Membran mukosa lembab, turgor kulit baik, pengisian kapiler cepat, tanda vital stabil.
Rencana tindakan : a). Kaji perubahan tanda vital, turgor kulit, kelembaban membran mukosa  b). Catat laporan mual / muntah  c). Pantau masukan dan haluaran, hitung keseimbangan cairan  d). Tekankan cairan sedikitnya 2500 ml/hari atau sesuai indikasi individual  e). Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluan.

8. Kurang pengetahuan ( kebutuhan belajar, mengenai kondisi dan kebutuhan tindakan ) berhubungan dengan kurang terpajan, kesalahan intrepretasi, kurang mengingat.
Tujuan : Menyatakan pemahaman kondisi, proses penyakit dan pengobatan.
Kriteria hasil : Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan.
Rencana tindakan : a). Kaji fungsi normal paru  b). Diskusikan aspek ketidakmampuan dari penyakit, lamanya penyembuhan dan harapan kesembuhan, identifikasi perawatan diri dan kebutuhan / sumber pemeliharaan rumah   c). Berikan informasi dalam bentuk tertulis atau verbal  d). Tekankan pentingnya melanjutkan batuk efektif / latihan pernafasan  e). Tekankan perlunya melanjutkan terapi antibiotik selama periode yang dianjurkan.

H. Pelaksanaan
Pelaksanaan merupakan tindakan mandiri berdasarkan ilmiah dan masuk akal dalam melaksanakan yang bermanfaat bagi klien yang diantisipasi berhubungan dengan diagnosa keperawatan dan tujuan yang telah ditetapkan. Pelaksanaan merupakan pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Tindakan keperawatan pada klien dapat berupa tindakan mandiri maupun tindakan kolaborasi. Dalam pelaksanaan tindakan, langkah-langkah yang dilakukan adalah mengkaji kembali keadaan klien, validasi rencana keperawatan, menentukan kebutuhan dan bantuan yang diberikan serta menetapkan strategi tindakan yang dilakukan. Selain itu juga dalam pelaksanaan, semua tindakan yang dilakukan pada klien dan respon klien pada setiap tindakan keperawatan didokumentasikan dalam catatan keperawatan. Dalam pendokumentasian catatan keperawatan hal yang perlu didokumentasikan adalah waktu tindakan dilakukan, tindakan dan respon klien serta diberi tanda tangan sebagai aspek legal dari dokumentasi yang dilakukan.

I. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang mengukur seberapa jauh tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai, berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan. Evaluasi merupakan aspek penting didalam proses keperawatan, karena menghasilkan kesimpulan apakah intervensi keperawatan diakhiri, ditinjau kembali atau dimodifikasi. Dalam evaluasi prinsip obyektifitas, reabilitas dan validitas dapat dipertahankan agar keputusan yang diambil tepat. Evaluasi proses keperawatan ada dua arah yaitu evaluasi proses ( evaluasi formatif ) dan evaluasi hasil ( evaluasi sumatif ). Evaluasi proses adalah evaluasi yang dilakukan segera setelah tindakan dilakukan dan didokumentasikan pada catatan keperawatan. Sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi yang dilakukan untuk mengukur sejauh mana pencapaian tujuan yang ditetapkan dan dilakukan pada akhir keperawatan.

Asuhan Keperawatan HNP


A. Pengertian.
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah penyakit yang disebabkan oleh trauma atau perubahan degeneratif yang menyerang massa nukleus pada daerah vertebra L4-L5, L5-S1, atau C5-C6 yang menimbulkan nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh). ( Doenges, 1999).

Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah menonjolnya nukleus dari diskus ke dalam anulus (cincin fibrosa sekitar diskus) dengan akibat kompresi saraf. ( Smeltzer, 2001).

Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah herniasi atau penonjolan keluar dari nukleus pulposus yang terjadi karena adanya degenerasi atau trauma pada anulus fibrosus.
( Rasjad, 2003).

Herniasi adalah suatu proses bertahap yang ditandai dengan serangan-serangan penekanan akar syaraf (yang menimbulkan berbagai gejala dan periode penyesuaian anatomik). ( Price, 2005).
Nukleus Pulposus adalah bantalan seperti bola dibagian tengah diskus (lempengan kartilago yang membentuk sebuah bantalan diantara tubuh vertebra). (Smeltzer, 2001).

Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah penyakit yang disebabkan oleh proses degeneratif atau trauma yang ditandai dengan menonjolnya nukleus pulposus dari diskus ke dalam anulus yang menimbulkan kompresi saraf sehingga terjadi  nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh).

B. Patofisiologi  
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) dapat disebabkan oleh proses degeneratif dan trauma yang diakibatkan oleh ( jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti mengangkat benda berat) yang berlangsung dalam waktu yang lama. Diskus intervertebralis merupakan jaringan yang terletak antara kedua tulang vertebra, yang dilingkari oleh anulus fibrosus yang terdiri atas jaringan konsentrik dan fibrikartilago dimana didalamnya terdapat substansi setengah cair. Substansi inilah yang dinamakan dengan Nukleus Pulposus yang mengandung berkas-berkas serat kolagenosa, sel jaringan ikat, dan sel tulang rawan. Bahan ini berfungsi sebagai peredam-kejut (shock absorver) antara korpus vertebra yang berdekatan, dan juga berperan penting dalam pertukaran cairan antara diskus dan kapiler. Diskus intervertebra ini membentuk sekitar seperempat dari panjang keseluruhan kolumna vertebralis. Diskus paling tipis terletak di regio lumbalis. Seiring dengan bertambahnya usia, kandungan air diskus berkurang (dari 90% pada masa bayi menjadi 70% pada lanjut usia) dan diskus menjadi lebih tipis sehingga resiko terjadinya HNP menjadi lebih besar. Selain itu serat-serat menjadi lebih kasar dan mengalami hialinisasi,yang ikut berperan menimbulkan perubahan yang menyebabkan HNP melalui anulus disertai penekanan saraf spinalis. Dalam herniasi diskus intervertebralis, nukleus dari diskus menonjol kedalam anulus (cincin fibrosa sekitar diskus) dengan akibat kompresi saraf. Kehilangan protein polisakarida dalam diskus menurunkan kandungan air nukleus pulposus. Perkembangan pecahan yang menyebar di anulus melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus. Setelah trauma (jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti mengangkat beban berat dalam waktu yang lama) kartilago dapat cedera, kapsulnya mendorong kearah medulla spinalis atau mungkin ruptur dan memungkinkan nukleus pulposus terdorong terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal.  Sebagian besar herniasi diskus (proses bertahap yang ditandai serangan-serangan penekanan akar saraf) terjadi di daerah lumbal di antara ruang lumbal IV ke V (L4 ke L5), atau lumbal kelima (L5 ke S1), hal ini terjadi karena daerah inilah yang paling berat menerima tumpuan berat badan kita pada saat beraktivitas. Arah tersering herniasi bahan Nukleus pulposus adalah posterolateral. Karena akar saraf daerah lumbal miring kebawah sewaktu keluar melalui foramen saraf, herniasi diskus antara L5 dan S1 lebih mempengaruhi saraf S1 daripada L5. (Price, 2005) , ( Brunner& Suddarth , 2001) serta Rasjad, 2003).

Hernia Nukleus Pulposus yang menyerang vertebra lumbalis biasanya menyebabkan nyeri punggung bawah yang hebat, mendesak, menetap beberapa jam sampai beberapa minggu, rasa nyeri tersebut dapat bertambah hebat bila batuk, bersin atau membungkuk,  dan biasanya menjalar mulai dari punggung bawah ke bokong sampai tungkai bawah. Parastesia yang hebat mugkin terjadi sesudah gejala nyeri menurun, deformitas berupa hilangnya lordosis lumbal atau skoliosis, mobilitas gerakan tulang belakang berkurang (pada stadium akut gerakan pada bagian lumbal sangat terbatas, kemudian muncul nyeri pada saat ekstensi tulang belakang), nyeri tekan pada daerah herniasi dan bokong (paravertebral), klien juga biasanya berdiri dengan sedikit condong ke satu sisi. 

Apabila kondisi ini berlangsung terus menerus dapat meninbulkan komplikasi antara lain berupa radiklitis (iritasi akar saraf), cedera medulla spinalis, parestese, kelumpuhan pada tungkai bawah.

C. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada klien dengan Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah :
1.      Penatalaksanaan medis.
a.       Pemberian obat-obatan seperti analgetik, sedatif (untuk mengontrol kecemasan yang sering ditimbulkan oleh penyakit diskus vertebra servikal), relaksan otot, anti inlamasi atau kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi yang biasanya terjadi pada jaringan penyokong dan radiks saraf yang terkena, antibiotik diberikan pasca operasi untuk mengurangi resiko infeksi pada insisi pembedahan (Smeltzer, 2001).
b.      Prosedur pembedahan.
1)      Laminektomi, adalah eksisi pembedahan untuk mengangkat lamina dan memungkinkan ahli bedah spinalis, mengidentifikasi dan mengangkat patologi dan menghilangkan kompresi medulla dan radiks, laminektomi juga berarti eksisi vertebra posterior dan umumnya dilakukan untuk menghilangkan tekanan atau nyeri akibat HNP.
2)      Disektomi, adalah mengangkat fragmen herniasi atau keluar dari diskus intervertebral.
3)      Laminotomi, adalah pembagian lamina vertebra.
4)      Disektomi dengan peleburan- graft tulang (dari krista iliaka atau bank tulang) yang digunakan untuk menyatukan dengan prosesus spinosus vertebra ; tujuan peleburan spinal adalah untuk menjembatani diskus defektif untuk menstabilkan tulang belakang dan mengurangi angka kekambuhan.
5)      Traksi lumbal yang bersifat intermitten. (Smeltzer, 2001).
6)      Interbody Fusion (IF) merupakan penanaman rangka Titanium yang berguna untuk mempertahankan dan mengembalikan tulang ke posisi semula.
c.   Fisioterapi

2.   Penatalaksanaan keperawatan.
a.       Tirah baring (biasanya 2 minggu) pada alas yang keras atau datar.
b.      Imobilisasi dengan menggunakan kolar servikal, traksi servikal,  brace atau korset.
c.       Kompres lembab panas (untuk 10 sampai 20 menit diberikan pada daerah belakang leher beberapa kali sehari untuk meningkatkan aliran darah ke otak dan menolong relaksasi otot bagi klien yang mengalami spasme otot).
d.      Anjurkan mempergunakan posisi yang benar dan disiplin terhadap gerakan punggung yaitu membungkuk dan mengangkat barang. Teknik yang benar adalah menjaga agar tulang belakang tetap tegak, menekuk lutut dan menjaga berat badan tetap dekat dengan tubuh untuk menggunakan otot-otot tungkai yang kuat dan menghindari pemakaian otot-otot punggung.
e.       Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam untuk mengurangi nyeri
f.       Perawatan luka pada klien pasca operasi untuk mengurangi risiko infeksi. (Smeltzer, 2001).
3.   Diit.
Klien dengan HNP dianjurkan untuk makan makanan yang banyak mengandung serat untuk mencegah konstipasi yang dapat memperberat rasa nyeri.

D. Pengkajian 
Pengkajian menurut Marillyn E Doenges (1999), Smeltzer (2001).
1.      Aktifitas/Istirahat.
Gejala        : Riwayat pekerjaan yang perlu mengangkat benda berat,duduk, mengemudi dalam waktu lama, membutuhkan papan atau matras yang keras saat tidur, penurunan rentang gerak dari ekstremitas pada salah satu bagian tubuh, tidak mampu melakukan aktifitas yang biasa dilakukan.
Tanda        :   Atrofi otot pada bagian tubuh yang terkena, gangguan dalam berjalan.

2.  Eliminasi.
      Gejala        : konstipasi, adanya inkontinensia urine.

3.  Integritas ego.
     Gejala         : ketakutan akan timbulnya paralisis, ansietas, masalah pekerjaan.
      Tanda        : cemas, depresi, menghindar dari keluarga atau orang terdekat.

4.  Neurosensori.
      Gejala        :  kesemutan, kekakuan, kelemahan dari tangan/ kaki.
Tanda        : penurunan refleks tendon dalam, kelemahan otot, nyeri tekan dan spasme otot.
5.  Nyeri/ Kenyamanan.
Gejala        : nyeri seperti tertusuk pisau yang akan semakin memburuk dengan adanya batuk, bersin, membengkokkan badan, mengangkat beban, defekasi, mengangkat kaki atau fleksi pada leher ; nyeri yang tidak ada hentinya, ; nyeri yang menjalar kekaki, bokong (lumbal), atau bahu/lengan, ; kaku pada leher (servikal), terdengar adanya suara ”krek” saat nyeri baru timbul/ saat trauma atau merasa ”punggung patah”, keterbatasan untuk mobilisasi/ membungkuk kedepan.
Tanda        : sikap dengan cara bersandar dari bagian tubuh yang terkena, perubahan cara berjalan,berjalan dengan terpincang-pincang, pinggang terangkat pada bagian tubuh yang terkena, nyeri pada saat palpasi.
6.  Keamanan.
Gejala        : adanya riwayat masalah ”punggung” yang baru saja terjadi.

7.  Penyuluhan/ Pembelajaran.   
Gejala        : gaya hidup yang monoton atau hiperaktif.

Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik menurut Doenges (1999), Smeltzer (2001), Rasjad (2003), dan Apley (1995).
1. Foto rontgen spinal : memperlihatkan adanya perubahan degeneratif pada tulang belakang/ ruang intervertebralis
2. Elektromiografi (EMG)      : dapat melokalisasi lesi pada tingkat akar saraf spinal utama yang  terkena , juga menentukan secara pasti akar saraf yang terkena
3. Venogram epidura  : dilakukan pada kasus dimana keakuratan dari miogram terbatas.
4. Pungsi lumbal          : mengesampingkan kondisi yang berhubungan, infeksi, adanya darah.
5. Tanda LeSeque       : dengan mengangkat kaki lurus keatas,dapat mendukung diagnosa awal dari herniasi diskus intervetebra  ketika muncul nyeri pada kaki posterior.
6. CT Scan                  : dapat menunjukkan adanya kanal spinal yang mengecil, adanya protusi diskus intervertebralis.
7. MRI                                    : pemeriksaan non invasive yang dapat menunjukkan adanya perubahan tulang dan jaringan lunak dan dapat memperkuat bukti adanya herniasi discus, memastikan lokasi dan tipe patologi.
8. Mielogram               : mungkin memperlihatkan “penyempitan” dari ruang discus, menentukan lokasi, dan ukuran herniasi secara spesifik.
9. Pemeriksaan urine   : menyingkirkan kelainan pada saluran kencing.
10.  LED                      : menyingkirkan adanya tumor ganas, infeksi, dan penyakit Reumatik.

E. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada klien pre operasi Laminektomi indikasi HNP menurut Doenges  (1999), Tucker (1998).
1.      Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, gangguan nyeri terus menerus.
2.      Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis dan tindakan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan atau informasi.

3. Nyeri akut/ kronis berhubungan dengan agen pencedera fisik; kompresi saraf, spasme otot.
4.Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan ketidaknyamanan, spasme otot, kerusakan neuromuskuler.

Diagnosa keperawatan pada klien post operasi Laminektomi menurut Doenges  (1999), Tucker (1998).
1.      Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, gangguan nyeri terus menerus.
2.      Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah sekunder terhadap edema operasi.
3.      Tak efektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru sekunder terhadap nyeri
4.      Nyeri akut/ kronis berhubungan dengan agen pencedera fisik; kompresi saraf, spasme otot, insisi pembedahan.
5.      Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan ketidaknyamanan, spasme otot, kerusakan neuromuskuler.
6.      Konstipasi berhubungan dengan imobilisasi, penurunan aktivitas fisik.
7.      Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis dan tindakan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan atau informasi.

F. Perencanaan.
Setelah diagnosa keperawatan ditemukan, dilanjutkan dengan menyusun perencanaan untuk masing-masing diagnosa yang meliputi prioritas diagnosa keperawatan, penetapan tujuan dan kriteria evaluasi sebagai berikut :

1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah sekunder terhadap edema operasi.
Tujuan : menunjukkan sirkulasi yang adekuat pada seluruh tubuh
Kriteria hasil    : 1) TTV klien terutama Nadi dan tekanan darah normal. 2) Capilarry refill < 3 detik. 3) Tidak ada tanda-tanda sianosis
Perencanaan    : 1) Kaji pergerakan  aatu sensasi dari ektremitas bawah/kaki (lumbal), dan tangan/lengan (servik). 2) Pertahankan klien dalam posisi terlentang selama beberapa jam. 3) Pantau TTV, catat kehangatan dan pengisian kapiler. 4) Lakukan palpasi pada daerah operasi untuk mengetahui adanya edema. 5) Lakukan pengukuran terhadap drainase (jika menggunakannya). 6) Berikan terapi cairan atau darah sesuai indikasi. 7) Periksa darah lengakp (seperti Hb, Ht, dan eritrosit).

2. Tak efektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru sekunder terhadap nyeri.
Tujuan : jalan nafas klien bersih tidak ada sumbatan
Kriteria hasil    : 1) Respiratory rate (RR) klien dalam batas normal (16-22 x/mnt). 2) AGD klien dalam batas normal. 3) Ronchi (-), dan wheezing (-).
Perencanaan    : 1) inspeksi adanya edema pada wajah/leher (pada laminektomi servikal). 2) Dengarkan adanya suara yang parau. 3) Auskultasi suara napas, catat adanya suara ronchi atau mengi. 4) Bantu klien untuk melakukan batuk efektif, miring kiri dan kanan, serta napas dalam. 5) Kolaborasi pemberian oksigen jika diperlukan. 6) Pantau hasil analisa gas darah.

3. Nyeri akut/ kronis berhubungan dengan agen pencedera fisik; kompresi saraf,spasme otot, insisi pembedahan.
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil    : 1) Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol. 2) Postur dan wajah rileks  3) Mendemonstrasikan keterampilan relaksasi, modifikasi perilaku untuk menghilangkan nyeri. 4) Mengekspresikan perasaan nyaman.
Perencanaan    : 1) Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus, tetapkan skala 1-10. 2) Pertahankan tirah baring selama fase akut, letakkan klien pada posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan flexi, posisi terlentang dengan atau tanpa meninggikan kepala 10-3- derajat pada posisi lateral. 3) Bantu pemasangan brace atau korset. 4) Batasi aktivitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan. 5) Anjurkan klien untuk melakukan teknik relaksasi. 6) Anjurkan klien untuk melakukan mekanika tubuh atau gerakan yang tepat. 7) Berikan tempat tidur ortopedik atau letakkan papan dibawah kasur atau matras.  8) Berikan obat sesuai kebutuhan seperti relaksan otot, analgetik, antiinflamasi, antibotik. 9) Pasang penyokong fisik seperti brace lumbal. 10) Konsultasikan dengan ahli terapi fisik (fisioterapi).

4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan ketidaknyamanan, spasme otot, kerusakan neuromuskuler.
Tujuan : menunjukkan tingkat aktivitas sesuai toleransi tubuh yang optimal.
Kriteria hasil    : 1) Klien dapat beraktivitas sesuai kemampuan. 2) Klien dapat mempertahankan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.
Perencanaan    : 1) Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan situasi yang spesifik. 2) Berikan aktifitas yang disesuaikan dengan kemampuan klien. 3) Anjurkan klin untuk melatih kaki bagian bawah / lutut, nilai adanya edema, eritema pada ekstremitas bawah. 4) Bantu klien dalam melakukan aktivitas ambulasi. 5) Berikan perawatan kulit dengan baik, masase titik yang tertekan setelah perubahan posisi. 6) Berikan analgetik kira-kira 30 menit sebelum memindahkan atau melakukan ambulasi klien selama periode akut.

5. Konstipasi berhubungan dengan imobilisasi, penurunan aktivitas fisik.
Tujuan : menunjukkan pola BAB yang normal, serta kontraksi usus yang normal.
Kriteria hasil    : 1) Bising usus klien dalam batas normal (8-15 x/mnt). 2) Konsistensi feses lunak atau setengah padat.
Perencanaan    : 1) Catat adanya distensi abdomen dan auskultasi bising usus klien. 2) Anjurkan klien untuk melakukan ambulasi sesuai kemampuan. 3) Mulai untuk meningkatkan diet sesuai toleransi pasien. 4) Berikan obat laksatif, pelembek feses sesuai kebutuhan.

6. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, gangguan nyeri terus menerus.
Tujuan : klien menunjukkan ekspresi rileks.
Kriteria hasil    :  1) Klien tampak rileks dan mengatakan ansitas berkurang pada tingkat yang dapat diatasi. 2) Mendemontrasikan keterampilan pemecahan masalah.
Perencanaan    : 1) Kaji tingkat ansietas klien. 2) Berikan informasi yang akurat dan jawab dengan jujur. 3) Berikan kesempatan klien untuk mengungkapkan masalah yang dihadapi. 4) Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh dan mungkin menghalangi proses penyembuhannya.

7. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis dan tindakan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan atau informasi.
Tujuan : mengatakan pengertiannya tentang kondisi dan tindakan medis yang dilakukan.
Kriteria hasil    : 1) Klien mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, prognosis dan tindakan. 2) Melakukan kembali perubahan gaya hidup.
Perencanaan    : 1) Jelaskan kembali proses penyakit dan prognosis serta pembatasan kegiatan seperti menghindari mengemudikan kendaraan dalam periode waktu yang cukup lama. 2) Berikan informasi mengenai mekanika tubuh sendiri untuk berdiri, mengangkat, dan menggunakan sepatu penyokong. 3) Diskusikan mengenai pengobatan dan efek sampingnya, seperti halnya beberapa obat yang menyebabkan kantuk yang sangat berat (analgetik, relaksan otot). 4) Anjurkan menggunakan papan/matras yang kuat, bantal kecil yang agak datar dibawah leher, tidur miring dengan lutut difleksikan, hindari posisi telungkup. 5) Diskusikan mengenai kebutuhan diit. 6) Hindari pemakaian pemanas dalam waktu yang lama. 7) Anjurkan untuk melakukan kontrol medis secara teratur.

G. Pelaksanaan
Pelaksanaan merupakan tindakan mandiri dasar berdasarkan ilmiah, masuk akal dalam melaksanakan yang bermanfaat bagi klien yang diantisipasi berhubungan dengan diagnosa keperawatan dan tujuan yang telah ditetapkan. Pelaksanaan merupakan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Tindakan yang dilakukan dapat berupa tindakan mandiri maupun kolaborasi. Dalam pelaksanaan langkah-langkah yang dilakukan adalah mengkaji kembali keadaan klien, validasi rencana keperawatan, menentukan kebutuhan dan bantuan yang diberikan serta menetapkan strategi tindakan yang akan dilakukan. Selain itu juga dalam pelaksanaan tindakan semua tindakan yang dilakukan pada klien dan respon klien pada setiap tindakan keperawatan didokumentasikan dalam catatan keperawatan. Dalam pendokumentasian yang perlu didokumentasikan adalah waktu tindakan dilakukan, tindakan dan respon klien serta diberi tanda tangan sebagai aspek legal dari dokumentasi yang dilakukan.

H. Evaluasi  
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang dilakukan untuk mengukur seberapa jauh tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai berdasrkan standar dan kriteria yang telah ditetapkan. Evaluasi merupakan aspek penting dalam proses keperawatan , karena menghasilkan kesimpulan apakah intervensi keperawatan dapat diakhiri atau ditinjau kembali atau dimodifikasi. Dalam evaluasi prinsip objektivitas, reliabelitas, dan validitas dapat dipertahankan agar keputusan yang diambil tepat. Evaluasi proses keperawatan sendiri ada dua yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses adalah evaluasi yang dilakukan segera setelah tindakan dilakukan dan didokumentasikan pada catatan keperawatan. Sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi yang dilakukan untuk mengukur sejauh mana pencapaian tujuan yang ditetapkan, dan dilakukan pada akhir asuhan keperawatan.

Jumat, 24 Desember 2010

Asuhan Keperawatan Batu Ginjal (Post OP Pielolitotomi)


A. Pengertian
Pada sub bab ini penulis akan mengemukakan beberapa pengertian tentang batu ginjal. batu ginjal atau kalkulus adalah batu yang dibentuk di dalam saluran kemih oleh kristalisasi dari substansi ekskresi di dalam urine (M.Nurs, 2007 ).

Batu ginjal/kalkulus adalah  bentuk deposit mineral, paling umum oksalat Ca2+ dan Fosfat Ca2+, namun asam urat dan kristal juga pembentuk batu (Doenges, 2000)

Batu saluran kemih  adalah suatu kelainan yang ditandai dengan ditemukannya batu di mana saja di saluran kemih (www.waspada.co.id, 2007)

Dari ketiga definisi di atas penulis dapat menyimpulkan  batu ginjal adalah   ditemukannya batu pada saluran kemih mulai dari ginjal sampai dengan kandung kemih, dimana batu terbentuk karena adanya mineral ; seperti : oksalat fosfat, asam urat  dan kristal lain dari substansi ekskresi di dalam urine

B. Patofisiologi


 
Batu yang terbentuk pada ginjal terjadi ketika konsentrasi substansi tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat meningkat, batu juga dapat terbentuk ketika terdapat defisiensi substansi tertentu seperti sitrat yang secara normal mencegah kristalisasi dalam urine. Kondisi lain yang mempengaruhi laju pembentukan batu mencakup : pH urine dan status cairan pasien (batu cenderung terjadi  pada pasien dehidrasi). Faktor tertentu yang mempengaruhi pembentukan batu mencakup infeksi, statis urine, periode imobilitas (drainase renal yang lambat dan perubahan metabolisme kalsium),  faktor usia, pekerjaan, ras dan lingkungan yang menjadi tempat tinggal pun dapat menyebabkan atau berpengaruh dalam pembentukan batu.
Proses terjadinya batu ginjal kristal yang terbntuk pada tubulus karena agresi kistal yang cukup besar,sehingga sebagian tertinggal dan ditimbul pada duktus kolektikus dan diperkirakan timbul pada bagian sel epitel yang mengalami lesi, selanjutnya secara perlahan timbunan akan membesar dan menjadi batu.
Manifestasi klinik adanya batu dalam traktus urinarius bergantung pada adanya obstruksi, infeksi dan edema. Ketika batu menghambat aliran urine, terjadi obstruksi menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan distensi piala ginjal serta ureter proksimal. Infeksi (pielonepritis dan sistitis yang disertai menggigil, demam dan disuria) dapat terjadi dari iritasi batu yang terus menerus bergerak. Batu yang terdapat di piala ginjal dapat menimbulkan gejala seperti nyeri, yang berasal dari area renal menyebar mendekati kandung kemih bahkan sampai testis  testis. Dikatakan klien mengalami episode kolik renal, apabila nyeri mendadak menjadi akut, nyeri tekan seluruh area kusta vetebral dan muncul mual dan muntah, batu yang terjebak di ureter menimbulkan nyeri/kolik yang menyebar ke paha dan genetalia, dorongan untuk berkemih namun keluar secara sedikit-sedikit terkadang disertai darah, sedangkan batu yang terjebak di kandung kemih, biasanya menyebabkan gejala iritasi dan berhubungan dengan infeksi traktus urinarius dan hematuri. Komplikasi yang dapat timbul batu ginjal ini diantaranya adalah sumbatan, akibat pecahan batu, infeksi akibat diseminari partikel batu ginjal atau bakterial atau bakteri akibat obstruksi kerusakan fungsi ginjal akibat sumbatan yang lama.

C. Penatalaksanaan
Tujuan pengelolaan batu saluran kemih adalah  menghilangkan batu, menentukan jenis batu, mencegah kerusakan nefron, mengendalikan infeksi dan mengurangi obstruksi yang terjadi.
1. Penatalaksanaan Medis.
a. Lithotripsi gelombang kejut ektrakorporeal (ESWL) yaitu : prosedur non infasif yang di gunakan untuk menghancurkan batu ginjal dengan cara amplitudo tekanan berenergi tinggi dari gelombang kejut di bangkitkan melalui suatu pelepasan energi yang kemudian di salurkan ke air dan jaringan lunak dan tekanan gelombang mengakibatkan permukaan batu pecah, dan akhirnya menyebabkan batu tersebut menjadi bagian – bagian yang lebih kecil
b. Pielolitotomi adalah prosedur pembedahan untuk mengeluarkan batu pada ginjal,indikasinya dilihat dari lokasi batu batu di ( pielum,nepron)
2. Penatalaksanaan Keperawatan.
a. Memberikan peningkatan asupan cairan untuk meningkatkan aliran urine sebagai usaha untuk mendorong batu.
b. Pengurangan bahan-bahan makanan pembentuk batu seperti : Kentang,ubi,singkong,biskuit,kue – kue yang terbuat dari susu, sayur bayam,daun mlinjo, lantoro.                                                                                     
3. Penatalaksanaan diet menurut  M. Nurs (2006), dengan tujuan memperlambat pertumbuhan batu ginjal atau mencegah pembentukan batu ginjal.
a. Diet rendah kalsium tinggi sisa asam untuk pasien dengan kalsium ginjal.
b. Diet tinggi sisa basa untuk pasien dengan batu sistem dan asam urat.
c. Diet rendah urine untuk pasien dengan batu ginjal, asam urat dan gout.

D. Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan batu saluran kemih pasca pembedahan menurut Doenges (2000),Susan Martin tucker ( 1998 ) diperoleh data sebagai berikut :
Aktifitas / istirahat.
Gejala : Pekerjaan monoton, klien terpajan pada lingkungan bersuhu tinggi, keterbatasan aktifitas / imobilisasi sehubungan dengan kondisi sebelumnya (penyakit tidak sembuh dan cidera medula spinalis).
Sirkulasi
Tanda : peningkatan tekanan darah, nadi, nyeri pingggang, kolig ginjal, ansietas, gagal ginjal), kulit hangat dan kemerahan, pucat.
Eliminasi
Gejala : riwayat adanya ISK kronik, obstruksi sebelumnya (kalkulus). Penurunan haluaran urine, kandung kemih penuh, rasa terbakar, dorongan berkemih, diare.
Tanda : oliguria, hematuria, piuria, perubahan pola berkemih, makanan / cairan.
Makanan / cairan
Gejala : mual / muntah, nyeri tekan abdomen, diet tinggi purin, kalsium oksalat atau fosfat, ketidakcukupan pemasukan cairan tidak minum air dengan cukup.
Tanda : distensi abdomen, penurunan / tidak adanya bising usus, muntah.
Nyeri / kenyamanan
Gejala : periode akut, nyeri berat, nyeri kolik, lokasi tergantung pada lokasi batu, contoh pada panggul di regio sudut kostavertebral : dapat menyebar ke punggung, abdomen dan turun ke lipat paha/genetalia, nyeri dangkal  konstan menunjukkan kalkulus ada di pelvi atau kalkulus ginjal nyeri dapat digambarkan sebagai akut, hebat tidak hilang dengan posisi atau tindakan lain.
Tanda : melindungi perilaku distraksi, nyeri tekan pada areal ginjal pada palpasi.
Pemeriksaan diagnostik :
1. Urinalisa warna mungkin kuning, coklat gelap berdarah, secara umum menunjukkan SPM, SDP kristal.
2. Urine 24 jam : kreatinin asam urat, kalsium, fosfat, oksalat atau sistem mungkin meningkat.
3. Kultur urine : mungkin menunjukkan ISK.
4. BUN / kreatinin serum dan urine abnormal (tinggi pada serum/rendah pada urine).
5. Hitung darah lengkap : SDP mungkin meningkat.
6. IVP memberi informasi lengkap / cepat urolitiasis seperti : penyebab nyeri abdominal atau panggul menunjukkan abnormalitas pada struktur anatomik.
7. CT Scan : menggambarkan kalkuli dan masa lain.
8. USG ginjal : untuk menentukan perubahan obstruksi.

E. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan berdasarkan analisa data menurut Doenges  (2000), Susan Martin Tucker ditemukan  diagnosa keperawatan  sebagai berikut :
1. Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan                                                           
2. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan drainase luka.
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang proses penyakit, perawatan rutin pasca operasi.

F. Perencanaan
Setelah diagnosa keperawatan ditemukan dilanjutkan dengan perencanaan keperawatan untuk setiap diagnosa keperawatan  menurut Doenges (2000), Susan Martin Tucker adalah sebagai berikut :
1. Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.
Tujuan : nyeri hilang / terkontrol.
Kreteria    evaluasi  :  dilaporkan penurunan klien, ekspresi wajah dan posisi tubuh klien tampak rileks.
Intervensi :
a. Kaji sifat, intensitas, lokasi, pencetus dan lamanya.
b. Kaji tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut, mengepalkan tinju, tekanan darah meningkat, nadi meningkat).
c. Pantau aliran urine, periksa kepatenan chateter.
d. Laporkan tanda dan gejala retensi urine.
e. Kaji daerah insisi terhadap kemerahan, bengkak, keras dan drainase.
f. Bantu pasien mendapatkan posisi yang nyaman.
g. Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam.
h. Anjurkan klien banyak minum untuk mengeluarkan batu.
i. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik.

2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan drainase luka.     
Tujuan  : gangguan integritas kulit tidak terjadi.
Kriteria evaluasi : klien tidak menunjukkan tanda dan gejala kemerahan pada kulit.
Intervensi :
a. Pantau balutan drainase, luka operasi, ganti balutan jika basah.
b. Catat dan dokumentasikan bau, warna, konsistensinya, jaga kulit bersih dan kering.
c. Periksa kulit sekitar drain, laporkan adanya kemerahan, kerusakan kulit.
d. Beri kantong ostomi dan pelindung kulit sekitar drainase.
e. Pertahankan kepatenan drain dan cegah adanya penghalang pada alat drainase.

 3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang proses perawatan pasca operasi.
Tujuan  : pengetahuan bertambah.
Kriteria evaluasi : Pasien/ keluarga dapat mengungkapkan tentang proses penyakit, perawatan rutin pasca operasi, perawatan di rumah dan evaluasi serta dapat mendemontrasikan perawatan luka, mengganti balutan.
Intervensi :
a. Intruksikan pasien untuk minum lebih dari 2500 ml/ hari..
b. Intruksikan pasien untuk mempertahankan diit sesuai program.
c. Ajarkan pasien untuk menggunakan teknik cuci tangan yang benar.
d. Intruksikan pada pasien untuk memantau dan melaporkan jika terjadi peningkatan suhu tubuh, kemerahan, bengkak, keras dan drainase dari luka insisi.
e. Intruksikan pada pasien untuk melaporkan bila terjadi haematuri.
f. Ajarkan merawat luka dan mengganti balutan pasca operasi.
g. Intruksikan pasien untuk menghindari pemakaian obat melebihi ketentuan dokter tanpa sepengetahuan dokter                                                                                        
h. Ajarkan pentingnya rawat jalan terus menerus.

G. Implementasi
Implementasi menurut teori adalah mengidentifikasi bidang bantuan situasi yang membutuhkan tambahan beragam dan mengimplementasikan intervensi keperawatan dengan praktik terdiri atas keterampilan kognitif, interpersonal dan psikomotor (teknis). Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien pada batu ginjal, pada prinsipnya adalah menganjurkan klien untuk banyak minum, mengobservasi tanda-tanda vital, mengawasi pemasukan dan pengeluaran cairan, mengajarkan teknik relaksasi untuk mengatasi nyeri, memberikan obat dan memantau hasil pemeriksaan darah lengkap sesuai program serta melibatkan keluarga dalam setiap tindakan yang dilakukan. Mendokumentasikan semua tindakan keperawatan yang dilakukan ke dalam catatan keperawatan secara lengkap yaitu ; jam, tanggal, jenis tindakan, respon klien dan nama lengkap perawat yang melakukan tindakan keperawatan.

H. Evaluasi
Menurut teori evaluasi adalah tujuan asuhan keperawatan yang menentukan apakah tujuan ini telah terlaksana, setelah menerapkan suatu rencana tindakan untuk meningkatkan kualitas keperawatan, perawat harus mengevaluasi keberhasilan rencana penilaian atau evaluasi diperoleh dari ungkapan secara subjektif oleh klien dan objektif didapatkan langsung dari hasil pengamatan. Penilaian keberhasilan dilakukan sesuai dengan waktu yang dicapai dengan kriteria hasil. Pada klien batu ginjal dapat dilihat : nyeri berkurang, tanda-tanda vital dalam batas normal dan pengetahuan klien tentang perawatan batu ginjal meningkat.